02: Bahan Percobaan*

38 4 0
                                    

Saat Aku sudah menyerah, Aku merasa tubuhku tidak sampai tanah. Tubuhku ditahan oleh seseorang yang entah siapa. Dengan sisa tenaga, Aku membuka mata perlahan. Ternyata, seorang Pria lainnya. Pria berkacamata dengan jubah berwarna merah.

Tiga. Ya Tuhan. Jumlahnya tiga Pria dan saat ini Aku sedang dalam keadaan lengah dan tanpa tenaga. Aku sedang membuka pertahananku di depan orang asing. Tepatnya di depan tiga Pria asing.

Jantungku berdetak lebih cepat, jemariku dingin, tubuhku bergetar. Siapapun, tolong. Ku mohon.

"Praktikkan apa yang baru kamu pelajari" ucap Pria berkacamata.

Deg- Luna.. Lyn.. Zelda.. Alana.. Luke.. Siapapun tolong.. Tanpa terasa air mata satu-persatu jatuh.

"Eh? Dia menangis" sepertinya Pria berkacamata ini mulai mengarahkan perhatiannya padaku.

"Ja.. ngan.." ucapku dengan suara yang hampir tidak bisa didengar.

Pria berkacamata mengalihkan pandangannya dariku. Ia menoleh ke arah Pria di depanku. Mereka bertukar pandang cukup lama. Matanya sesekali bergerak seakan memberikan isyarat.

Dalam sepersekian detik, Aku merasa tubuhku melayang. Tidak lagi menapaki tanah. Aku menatap benda langit yang bergerak mengikuti. Sementara hati menggantikan mulut berbicara, terus mengucap doa tanpa henti, terus berharap ada seseorang yang akan menolong.

Sepertinya kami sampai disebuah rumah sederhana yang tidak jauh berbeda dengan rumah ku di desa. Pria lainnya bergegas menyiapkan sesuatu, entah apa. Satu-satunya yang bisa ku lihat adalah langit-langit rumah dan wajah Pria yang menopangku.

Tak lama kemudian, Pria berkacamata meletakkan tubuhku di atas alas tidur yang sudah rapih. Lengkap dengan bantalnya. Ia metelakkan tubuhku perlahan-lahan, seakan tubuhku adalah tubuh yang rapuh dan mudah hancur.

Aku merasakan alas tidur yang lembut mengenai kulit. Tapi, Aku tidak boleh terlelap. Meski tidak ada tenaga setidaknya Aku tidak boleh memejamkan mata. Aku akan mengingat wajah mereka satu-persatu, melukisnya berkali-kali, dan menjadikan mereka sebagai buronan, jika mereka benar-benar orang jahat.

Setelah Pria berkacamata mengangguk, Pria lainnya mengulurkan telapak tangan ke arah keningku. Tidak menyentuh, berjarak beberapa centi dari kening. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan. Mungkin dia akan membuat ku tertidur dengan kemampuannya.

Beberapa detik berlalu, Pria itu menggeleng. Tapi, tidak memindahkan telapak tangannya dari atas kening.

Pria itu mencobanya lagi. Tapi, lagi-lagi menggeleng.

Pria berkacamata mengarahkan dagunya ke arah lenganku. Pria itu memindahkan telapak tangannya di atas punggung tanganku, tapi untuk kesekian kalinya Pria itu menggeleng.

Pria berkacamata menghembuskan napas gusar. Sementara, Pria itu menangkap netraku. Menatapku dengan tatapan yang dingin dan mengintimidasi. Tatapan itu seperti tatapan menyalahkan, seperti memberitahu bahwa Aku baru saja melakukan kesalahan besar.

Tatapan itu membuat jantungku berdetak kencang. Aku tidak terima disalahkan atas apa yang tidak Aku lakukan. Aku tidak berbuat salah.

Lalu, Aku baru saja dijadikan bahan percobaan. Harusnya dia yang salah. Mesti Aku tidak tahu penyebab tubuhku menjadi seperti ini, paling tidak Aku tahu perbuatan mereka salah. Menculik dan menjadikan Aku sebagai bahan percobaan.

Tidak adil. Kedudukan mereka memang lebih tinggi dariku, tapi bukan berarti mereka bisa melakukan dan menyalahkan orang seenaknya. Dadaku menyerngit perih.

Terdengar keduanya menghela napas gusar.

"Sudah waktunya" ucap Pria tanpa jubah. Aku baru memperhatikan Pria itu yang ternyata memiliki warna kulit yang lebih gelap dan tubuh yang lebih kekar jika dibandingkan dengan dua Pria berjubah.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang