27: Aku Percaya

12 1 1
                                    

Hari ini, Aku bangun lebih siang dari biasanya. Aku dan Ibu menikmati makan siang kami, kemudian pergi menuju pasar.

Ibu membeli beberapa bahan makanan, sesekali berhenti untuk membeli baju tidur dan makanan ringan.

Langkahku terhenti begitu melihat peralatan melukis, kegiatan yang dulu menjadi rutinitasku.

"Mau coba melukis lagi?" tanya Ibu.

Aku menoleh ke arahnya. Ia menyerahkan bolu kukus padaku, Aku melahapnya sambil menggeleng.

"Bernyanyi?" tanyanya.

Aku menggeleng. Sejujurnya, Aku masih ingin. Tapi rasa minat untuk keduanya sudah hilang kala membayangkan tatapan sinis atau warga yang menatapku iba karena melihat seorang jubah merah yang tidak bekerja untuk kerajaan. Berstatus bangsawan, tapi melakukan hal yang tidak penting.

Usai membeli semua kebutuhan, kami melangkah pulang.

"Kamu belum memberikannya pada Luna?" tanya Ibu kala melihat kotak cokelat tergeletak di sudut ruang.

Ah, kotak berisi piring, mangkuk dan gelas bergradasi merah muda dan putih yang ku buat khusus untuk Luna.

"Ah, Aku lupa" ucapku seadanya.

Sebenarnya Aku tidak pernah lupa. Aku hanya menundanya, selalu, dan entah sampai kapan. Aku merasa belum siap, belum siap menatap netra kecewanya dan mendengar kata pisah darinya.

Ibu mendekat ke arahku, Ia memberikanku selebaran poster. Aku membacanya dengan seksama. Poster berisi lowongan mengajar di desa terpencil yang letaknya dekat perbatasan kerajaan Goldstain dan kerajaan Sapphire.

Aku menoleh ke arah Ibu, menunggu penjelasannya.

Ibu tersenyum dan menatapku hangat, "Barang kali kamu ingin mencobanya" ucapnya.

Tapi, mengapa? Bukankah artinya secara tidak langsung Ibu menyuruhku untuk pergi? Apa karena kejadian semalam?

"Aku baik-baik saja, Bu" ucapku.

Ibu duduk di sampingku, "Tidak ada salahnya mencoba".

"Aku ingin bersama Ibu" Aku mengenggam tangannya.

Ibu mengangguk seakan mengerti, "Kalau dengan bersamamu Ibu akan kehilangan diri kamu, lebih baik Ibu sendiri" ucapnya.

Ia mengusap puncak kepalaku lembut, "Ibu baik-baik saja" ucapnya.

Hening. Pikiranku buntu, mata gelap, dan hati hampa. Meski Aku tidak memberi tanggapan, Ia tersenyum. Dalam diam, Ia pasti tahu Aku sedang mempertimbangkannya.

Aku menatap bingkisan yang belum sempat ku berikan pada Luna. Mungkin, Aku akan mencobanya. Kali ini daripada harus mengulang siklus yang sama, Aku akan mencobanya kembali. Berbalik arah sejenak dan memperbaiki lubang sebelum membesar.

Aku bangkit dari duduk, berpamitan pada Ibu sambil membawa bingkisan untuk Luna.

Pekarangan rumahnya tidak berubah, dua orang penjaga berdiri dengan tegap di sisi pintu. Aku menyapa keduanya dan berkata hendak menemui Luna. Salah satu dari mereka pergi untuk menyampaikan pesan, lalu beberapa menit kemudian kembali bersama Luna.

Netra kami bertemu, raut wajahnya tenang tanpa amarah. Dari netranya samar-samar Aku bisa merasakan masih ada rasa kecewa di sana.

"Hai" Aku tersenyum.

Luna mengangguk dan berjalan mendahului. Membuatku tergesa-gesa menyesuaikan langkah.

Kami melangkah dalam diam, menuju bukit tempat kami biasa menghabiskan waktu.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang