Aku naik ke dalam bus yang sejak tadi ku nantikan. Tidak banyak orang di dalam, hanya ada enam orang termasuk pengemudi. Aku melangkah, melepas tas ransel, dan duduk di kursi bagian kanan, dekat dengan jendela supaya bisa melihat ke arah luar.
Sesekali Aku menguap menahan kantuk, terlalu pagi, matahari bahkan masih malu menampakkan wujudnya.
Semalam Ibu melihat pergelangan tanganku, sudah empat garis yang gosong kehitaman. Ibu terkejut melihatnya, dengan gugup Ia menutup mulutnya dan memberikan selembar kertas berisi alamat. Katanya Aku harus pergi ke alamat itu untuk menemui paman.
Sepanjang perjalanan, tanda itu kerap hadir dalam pikiran. Jarak yang cukup jauh serta punggung di balik kemeja putih yang samar. Aku belum bisa memastikan bahwa itu adalah tanda yang sama.
Setelah berpikir semalaman, Aku sampai pada keputusan bahwa Aku tidak akan mengatakan apapun padanya karena Aku tidak tahu apa yang akan Ia lakukan setelah mendengarnya dan Aku tidak siap menerima sakit yang lebih dari ini. Aku akan mencari tahu lebih lanjut tentang tanda itu, yang sulit adalah Allen terlalu abu-abu dan samar. Semua pergerakan bahkan ekspresinya tidak bisa terbaca.
Setelah menempuh perjalanan selama empat jam, Aku turun di halte bus, berjalan sejauh enam ratus kilometer hingga sampai ke alamat yang dituju.
Sebuah rumah yang bisa dibilang cukup megah jika dibandingkan dengan rumah disekitarnya. Pintu masuknya dijaga oleh beberapa Pria berseragam.
Aku melangkah, menghampiri salah satu penjaga, "Permisi, Apa benar ini rumah Tuan Alex?" tanyaku.
"Benar, ada perlu apa?" jawabnya.
"Ada kabar yang perlu saya sampaikan pada beliau" ucapku.
"Nama?" tanyanya.
"Ellyna"
Pria itu memberi isyarat pada Pria lainnya. Pria lainnya bergegas masuk ke dalam, tidak butuh waktu lama hingga Ia kembali dan mempersilahkan Aku untuk masuk mengikuti langkahnya.
"Ellyna!" seorang Pria paruh baya dengan jubah merahnya menyambut kedatanganku di depan pintu masuk.
Aku membalasnya dengan senyum dan sedikit membungkuk.
"Apa kabar?" tanyanya.
"Baik. Paman sendiri bagaimana?" Aku kembali bertanya.
"Baik. Bagaimana dengan Ibumu?" tanyanya selagi mempersilahkan Aku untuk duduk.
"Ibu.. baik" ucapku yang merasa suasana perlahan berubah menjadi canggung. Sudah lama sekali sejak Aku bertemu dengan Paman. Aku bahkan baru ingat bentuk wajahnya.
"Ada apa gerangan datang jauh-jauh kemari?" tanyanya tersenyum.
Sementara, beberapa pelayan sedang sibuk menghidangkan makanan ringan di meja tamu.
"Ah.. itu.." Aku hendak mengucapkan sesuatu, tapi ucapanku tertahan melihat beberapa pelayan yang masih sibuk berlalu-lalang.
Seakan mengerti, Paman memberi isyarat pada pelayan untuk menghentikan aktivitasnya dan berkata "Kalian boleh pergi, Saya tidak ingin diganggu".
Pelayan itu mengangguk, kemudian pergi meninggalkan ruang. Paman memberi isyarat padaku untuk minum-minuman yang sudah disediakan. Aku melalukan perintahnya.
"Jadi, bagaimana?" tanyanya.
Aku membuka pergelangan tanganku dan memperlihatkannya pada Paman. Paman tersentak melihatnya. Ia menghela napas gusar.
"Kalian masih terluka ya" ucapnya samar.
Aku mengerutkan kening tidak mengerti. "Kalian? Siapa maksud paman?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Grey in Me
Lãng mạnEllyna harus melalui usia delapan belas tahunnya dengan hati-hati. Menghindar dari seseorang tanpa tahu siapa yang harus dihindari, tanpa tahu apa penyebab dan alasannya. Hanya bermodal ucapan Ayahnya sebelum pergi 'Berhati-hatilah, dia berbahaya'. ...