Hari ini dimulai dengan kegiatan yang padat. Aku bangun dari tidur, bergegas sarapan, membersihkan diri dan mengganti pakaianku menjadi kemeja putih dan celana hitam serta jubah berwarna biru.
Suster melakukan cek kesehatan untuk yang terakhir kali dan mengoleskan obat penyamar luka. Prajurit mengikat kedua tanganku dan membawaku ke ruang penghakiman.
Di sana Aku bertemu dengan Paman. Tidak sempat bertukar kabar, prajurit segera memerintahkan Paman untuk membuka segelnya.
"Ini akan sakit" ucap Paman sambil memasukkan kain yang sudah digulung rapih ke dalam mulut. "Gigit" perintahnya.
Aku melakukannya. Prajurit melepas ikatan tanganku, membiarkan Paman menerimanya, membuka pergelangan tanganku, dan mengucapkan mantra yang tidak bisa ku dengar dengan jelas.
"HMMMMPP"
Perih, terbakar, tersayat, semua rasa itu bercampur menjadi satu. Aku menggigit kain tanpa ampun dan berteriak tanpa peduli sekitar. Beruntung kain ini bisa meredam suaraku.
Dua menit bagai jutaan tahun, akhirnya proses itu usai. Aku mengucapkan selamat tinggal pada Paman sebelum prajurit menutup mata dan kembali mengikat lenganku.
Aku mengikuti langkah mereka dengan terseok-seok setelah sebagian besar tenaga dikeluarkan saat berteriak.
Perjalanan ini cukup jauh sampai Aku sempat terlelap dan bangun sebanyak dua kali. Mereka bahkan sempat memberiku makan siang dan camilan sore.
Mobil yang semula berjalan lurus, kini mulai berliuk-liuk dan sesekali melompat akibat jalan yang berkerikil.
Tak lama setelah itu, mobil berhenti, suara pintu terbuka. Mereka membawaku melangkah. Saat itu Aku merasa berjalan di atas kerikil, bunyi kerikil yang dipijak pun cukup nyaring.
Suara pintu terbuka, suara kerikil berganti dengan suara ketukan sepatu dengan lantai. Suaranya menggema, sangat kencang.
Mereka berhenti, membuka penutup mata dan ikatan di tanganku.
Aku membuka mata perlahan, membiarkan mataku menyesuaikan cahaya ruang.
Lantai berwarna cokelat, dinding abu-abu gelap, dan plafon berwarna putih. Dari tempatku berdiri, Aku bisa melihat lorong di sisi kanan dan kiri serta tangga besar di bagian tengah.
Di depanku berdiri seorang wanita dengan usia lima puluhan. Ia berdiri tegap, berwajah tegas, bermata tajam, mengenakan pakaian serba hitam, rambut pendek sampai bahu dan jubah merah.
Setelah Aku bertemu netra dengannya, para prajurit dipersilahkan pergi.
"Ellyna Albertine?" suaranya terdengar jelas dan tegas.
Aku membungkuk sebagai tanda hormat.
"Saya Megan ketua rumah karantina" lanjutnya.
Aku sedikit menunduk lagi-lagi sebagai tanda hormat, "Senang bertemu dengan Anda".
"Ikuti saya" ucapnya kemudian melangkah menuju lorong kanan tanpa menanggapi sapaanku.
Megan mengenalkan tiap ruangannya padaku. Bagian kanan lorong adalah tempat belajar dilaksanakan, di sana terdapat ruang perpustakaan yang bersebrangan dengan ruang belajar dan ruang evaluasi.
Setelah itu, kami menuju lorong bagian kiri. Pada bagian kiri terdapat kantor Megan yang bersebrangan dengan ruang tamu dan ruang rapat.
Kami naik ke lantai dua. Sama seperti lantai satu, lantai dua dibagi menjadi dua lorong.
Lorong bagian kanan terdapat dapur dan ruang makan yang berhadapan dengan ruang istirahat. Di dalam ruang istirahat terdapat alat melukis, alat musik, mesin jahit, meja pingpong dan billiard. Lorong bagian kiri terdapat enam kamar tidur, kamar mandi bersama untuk pria dan sebelahnya untuk wanita, juga tempat mencuci terpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Grey in Me
RomanceEllyna harus melalui usia delapan belas tahunnya dengan hati-hati. Menghindar dari seseorang tanpa tahu siapa yang harus dihindari, tanpa tahu apa penyebab dan alasannya. Hanya bermodal ucapan Ayahnya sebelum pergi 'Berhati-hatilah, dia berbahaya'. ...