24: Berita dari Luar

9 2 0
                                    

Sebelas bulan berlalu sejak Aku tinggal di rumah karantina. Setelah peristiwa kunjungan mendadak dan Claire jatuh di ruang mencuci, kemampuanku mulai mengalami perkembangan.

Hari itu adalah hari bersejarah untukku. Saat Ratu memberikan jubah merah, di hari itu pula tanda-tanda kemampuanku muncul. Megan memberiku dua buku dari perpustakaan tentang kemampuanku. Membiarkan Aku membacanya dan melakukan praktik secara bersamaan.

Kata Megan, kemampuanku sudah berkembang pesat. Aku bisa menggunakan kemampuanku, mengetahui semua resiko dan kelemahan, serta bisa mengendalikannya dengan baik. Meski terkadang Aku hilang kendali.

Seperti saat Megan bertanya pendapatku untuk menghadiri undangan konferensi di kota. Rasa sakit dan sesak muncul seperti saat pertama kali, saat Claire jatuh di ruang mencuci, seakan dihantam mobil truk yang besar. Padahal saat Aku mulai menyesuaikan diri, rasa sakitnya hanya terasa seperti digigit serangga. Akhirnya, Aku mencegah Megan untuk hadir. Setelah itu, Megan mendapat kabar bahwa salah satu temannya tewas ditabrak mobil pengendara yang sedang mabuk.

Dari situ, kami tahu bahwa rasio sakit yang ku terima sama dengan bahaya yang akan dihadapi. Sama seperti Claire hari itu, setelah jatuh, Ia tidak sadarkan diri selama dua hari karena kepalanya terbentur cukup keras, menghantam kembali luka lamanya. Membuatnya terlihat linglung selama satu bulan penuh dan kehilangan memori yang sempat kembali.

"Kali ini mana yang akan kamu berikan?" Claire berbaring di sampingku. Di tengah ruang istirahat, yang sejak dua bulan lalu dibiarkan kosong. Tidak ada lagi meja pingpong dan meja billiard, katanya supaya ada ruang lebih untuk olah raga menggunakan hulahoop, lompat tali, dan matras. Padahal, diberi ruangpun Aku dan Claire tetap tidak minat.

Kami menatap satu lemari berisi koleksi keramik dan dua lemari berisi koleksi pakaian. Tidak menyangka akan menghasilkan karya sebanyak itu dalam waktu sebelas bulan.

Claire bangkit, membuka lemari koleksiku, meraih gelas bermotif daun dengan warna hijau kebiruan, dan menunjukkan gelas itu padaku, "Bagaimana kalau yang ini?".

Matanya berbinar selagi mengamati setiap inci gelas itu dengan penuh minat.

Aku bangkit dan mendekat ke arahnya, "Kamu suka?".

Claire mengangguk. Di antara keramik yang lain, Ia memilih keramik motif pertamaku. Motif daun ku gambar menggunakan lidi yang tiap garisnya tidak lurus dan bentuk daun yang tidak simetris.

Aku meraih piring berwarna putih tulang dengan ranting berwarna cokelat di salah satu sisi. "Menurutku yang ini lebih baik" ucapku.

"Kalau begitu, yang ini untukku" tanpa menunggu persetujuanku, Claire pergi menuju lemari koleksinya bersama gelas itu.

Aku tersenyum. Padahal Claire bisa saja memintanya langsung.

Kini Aku dan Claire berdiri di hadapan koleksinya, menatap sarung bantal, kaus kaki, selimut, seragam, sapu tangan, dan syalnya.

Aku membukanya, meraih syal rajut berwarna pastel merah muda. "Bagaimana kalau ini? Sebentar lagi musim dingin" ucapku.

Claire mengerutkan keningnya sejenak kemudian menyetujui.

Setelah itu, kami membungkusya dengan rapih dan indah. Aku dengan warna kertas dan pita yang sama dengan sebelumnya. Sementara, Claire memilih warna merah muda katanya supaya senada.

Tidak butuh waktu lama, empat kantung bingkisan berupa piring, syal, dan brownies sudah siap. Kami selesai tepat saat Ratu datang. Beruntung kunjungan kali ini sudah diumumkan sejak semalam, jadi Aku dan Claire tidak diburu waktu seperti sebelumnya.

Usai bertukar kabar dengan Ratu, Aku dan Claire naik untuk menyiapkan hidangan. Claire sibuk memanaskan semur ayam, sedangkan Aku sibuk mengantar makanan ringan berupa enam oat cookies berukuran sedang, keripik kentang, berbagai jenis kacang, dan jahe hangat.

Begitu sampai di depan ruang Megan, prajurit kerajaan tidak lagi terlihat, mungkin mereka berjaga di luar gedung karena Ratu sedang butuh privasi. Detik itu, ketukkan pintuku terbalas.

Aku masuk dan menyajikan semua makanan ringan di atas meja dengan gesit dan rapih.

"Oh! Siapa yang membuat cookiesnya?" tanya Ratu.

"Saya, Yang Mulia" jawabku.

Ratu menepuk pundakku, "Duduklah" ucapnya.

Aku mengikuti perintahnya, duduk bersebrangan dengan Megan. Sementara, Ratu meraih cookies dan mencicipinya.

"Ellyna, apakah kamu bisa membuat kue?" tanyanya dengan senyum ramah dan nada yang lembut.

Aku mengangguk.

Senyumnya semakin lebar, "Maukah kamu membuat kue untuk acara tunangan anak Saya?".

Tanpa sadar, Aku mengangkat wajah, menatap Ratu dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Anak Ratu, berarti-

"Allen tidak suka makanan manis, menurut Saya cookies dan cupcake kamu pas, tidak terlalu manis"

Hanya dengan mendengar namanya, jantungku berdetak tidak beraturan. Nama yang selama sebelas bulan terlupakan.

"Bagaimana, El?" tanya Ratu.

Bagaimanapun, Aku tidak ada alasan untuk menolak. Aku menurunkan pandanganku, "Saya Bersedia, Yang Mulia".

"Ah! Syukurlah. Untuk tanggalnya, akan Saya beritahu melalui Bu Megan" ucapnya dengan mata berbinar dan nada penuh gairah.

Aku mengangguk dan Megan mempersilahkan Aku untuk pergi. Langkahku terhenti di depan pintu. Berita itu cukup mengejutkan. Berita bahwa Allen akan memutuskan tali ikatan kami secara sepihak. Tanpa kata pisah, tanpa kesepakatan, bahkan mengabaikan ritual yang ku tawarkan. Mungkin Allen tidak percaya padaku, malu mengakui diriku, tidak mampu sekedar mengatakan statusku pada kedua orang tuanya.

Aku meletakkan telingaku di pintu, menajamkan pendengaranku. Aku ingin tahu siapa orang yang Allen pilih. Kepada siapa hatinya berlabuh sampai enggan menunggu kepulanganku untuk melakukan ritualnya.

"Saya tidak sanggup membayangkan Allen kesulitan mengendalikan kemampuannya selama hidup" ucap Ratu.

"Tapi, Ayahnya pun khawatir karena usia delapan belas tahun Allen akan segera berakhir dan sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Allen sudah bertemu dengan pasangannya" lanjutnya.

"Tidak perlu terburu-buru. Delapan belas tahun atau lebih, ikatan itu akan selalu ada selama tanda lahir itu ada atau salah satunya tidak memutuskan untuk berlabuh dengan yang lain" suara Megan terdengar.

"Benang itu akan tetap tarik menarik, hingga mempertemukan keduanya meski tidak sekuat saat usia delapan belas tahun" lanjut Megan.

Hening. Kini suara dari dalam ruang, digantikan oleh suara langkah kaki.

Aku menegakkan tubuh dan memutuskan untuk pergi tanpa tahu jawabannya.

Aku menaruh harapan pada ucapannya untuk tidak memutuskan apapun tanpa persetujuannya. Ku pikir, kami akan mencapai kesepakatan. Ku kira, Ia sedang mencari jalan keluarnya.

"El! Ellyna!"

Aku menoleh, menemukan Claire yang sedang menatapku dengan kening berkerut, wajah memerah, dan tatapan yang tajam.

"Ratu akan pulang" ucapnya.

Aku bangkit, mengikuti Claire menuruni tangga, memberikan bingkisan sekaligus melepas kepergian Ratu.

Setelah itu, kami merapihkan semua bekas peralatan makan, ruang Megan, dan meja makan. Claire sempat mengajakku bicara, Akupun menjawabnya sesekali. Tapi, setelah beberapa topik Claire berhenti.

Untuk pertama kalinya, kami melakukan semuanya dalam diam. Tanpa bertukar kisah, keluh, dan canda hingga kami kembali ke kamar masing-masing.

Keesokan harinya, semua kembali seperti biasa. Aku berhasil menjernihkan pikiran dan hati dalam semalam. Meyakinkan diri bahwa semuanya belum terjadi, Ratu masih tidak yakin, maka acara itupun bisa saja dibatalkan.

Sepanjang hari, Aku dan Claire kembali bertukar kisah, keluh, dan canda. Claire tidak bertanya tentang hari sebelumnya.

Dalam hitungan hari, Aku mengabaikan ingatan itu. Belajar dan berlatih seperti hari-hari biasanya, sampai Megan memintaku untuk datang ke ruangannya dan berkata "Dua puluh september, kue cokelat dengan selai strawberry".

-The Grey in Me-

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang