16: Ilusi atau Nyata

7 1 0
                                    

Pertemuan dengan Allen kemarin malam bukanlah kesepakatan, lebih terkesan seperti titah. Titah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun, tidak bisa diganggu gugat.

Di atas meja makan, Aku mengusap segelku yang baru. Ada sedikit luka setelah pertemuan dengan Allen. Sayang sekali, padahal Aku sudah bertekad akan membuat luka ini sebagai luka terakhir, luka pengorbanan demi mencapai kesepakatan. Demi tidak membuat luka-luka selanjutnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk. Aku membuka pintu, bertemu netra dengan enam orang Pria berwajah tegas, bertubuh tegap, mengenakan seragam berwarna hitam lengkap dengan pin tanda pangkat dibahu kiri.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku berusaha setenang mungkin pada prajurit kerajaan.

Salah satu dari mereka menyerahkan selembar surat ke arahku. Aku membacanya perlahan, memastikannya berkali-kali. Mataku membulat setelah membacanya sebanyak empat kali.

Surat itu berisi izin penangkapan dengan namaku di dalamnya, surat resmi yang telah diberi cap oleh raja dan ratu. Penangkapan akibat melakukan pelanggaran yang katanya akan dijelaskan di ruang sidang.

Aku yang tidak merasa melakukan pelanggaran apapun hanya bisa membuka mulut tidak percaya. Membiarkan Pria lainnya memasang borgol ditanganku.

"Tunggu, kalian pasti salah orang" Aku bergerak berusaha lolos dari genggaman.

Ke tiga Pria itu berbalik arah menuju mobil yang sudah menunggu di depan rumah, sementara sisanya ikut menghambat gerakanku. Menggenggam bahu dan lengan, sambil memaksaku agar berjalan ke arah mobil.

"Saya tidak melakukan pelanggaran" ucapku masih berusaha mengelak, berusaha tetap tenang supaya tidak menarik perhatian warga yang sedang lewat.

Percuma saja, seragam mereka terlalu mencolok dan khas. Kini beberapa warga sedang menaruh netranya ke arah kami, mendongakkan kepala, menajamkan telinga, sambil sibuk dengan teori mereka masing-masing. Enggan menarik perhatian lebih banyak, Aku memutuskan untuk berserah diri.

Dari kejauhan terlihat Harris, Luna, dan Luke sedang berlari ke arahku, menatap dengan ekspresi penuh tanya. Aku menangkap netra Luna, mengabaikan Harris dan Luke. Memberi isyarat lewat senyum, bahwa Ia tidak perlu khawatir dan Aku akan baik-baik saja.

Semua berjalan begitu cepat, pintu mobil ditutup. Selagi perjalanan dimulai, salah satu di antara mereka mengikatkan penutup mata padaku.

Setelahnya hanya terdengar suara mesin mobil yang berderu selama dua jam, suara kunci, dan pintu jeruji. Tanganku dilepaskan, begitupun penutup mata. Belum sempat mataku menyesuaikan diri, tubuhku didorong hingga terbentur dinding yang keras dan dingin. Aku meringis begitu merasa beberapa bagian tubuhku mulai berdenyut akibat benturan.

Detik dan menit berlalu, mataku mulai menyesuaikan diri. Aku berada dalam jeruji besi, duduk di pojok ruang, di atas semen yang dingin. Di bagian kanan terdapat toilet dan kasur dengan alas seadanya. Aku merinding membayangkan betapa kerasnya kasur itu, betapa menjijikannya buang air di samping tempat tidur, bahkan makan di ruang yang sama. Ruang persegi panjang, berukuran empat kali dua meter.

Entah berapa lama Aku tidak bergeming dari tempatku. Pikiranku kosong, tubuhku sibuk beradaptasi, sampai mengabaikan dua mangkuk makanan yang entah sejak kapan diletakkan di depan pintu.

"El.." terdengar seseorang memanggil namaku pelan, berbisik.

"Ellyna.." kali ini terdengar lebih kencang.

"Hey.." Aku mulai mengenali suara itu, Harris.

Terdengar Harris menghela napas gusar, kemudian berkata "El, kamu harus makan".

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang