"El!" suara Harris terdengar memenuhi lorong.
"Kenapa tidak mengajukan banding?" ucap Harris setelah berhasil menyentuh lenganku.
Langkahku yang terseok-seok tidak sebanding dengan langkah Harris yang lincah dan besar.
"Kamu sakit?" ucapnya sambil mengadahkan wajahku, memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Dari sentuhannya di wajahku, Aku bisa merasakan Harris terkejut melihat keadaanku.
Dari balik punggungnya Aku bisa melihat Allen sedang mengarahkan netranya ke arah kami. Tatapannya yang dingin menangkap netraku, Ia tidak bergerak, tidak juga mengalihkan pandangannya. Tidak bisakah dia berhenti menggunakan kemampuannya padaku?
"El, ayo kita ke rumah sakit" ucap Harris yang lengannya sedang sibuk menopang tubuhku.
Entah apa yang Harris katakan selanjutnya, Aku hanya fokus pada Allen. Menatapnya seakan memberi isyarat bahwa semua itu sudah cukup. Dia pasti tahu selama ini Aku kesakitan di dekatnya, selama ini Aku meringis karena perbuatannya. Tapi, Allen selalu diam.
Tiap kali Aku kesakitan, Allen hanya akan menatapku dalam diam. Seakan sedang mengamati dan mengobservasi kelinci percobaannya. Mungkin, ini semua karena malam itu. Malam saat dia meletakkan tangannya di atas keningku.
Kami saling memandang cukup lama, hingga Allen melangkahkan kakinya. Sementara, Harris masih sibuk menggerakkan tubuhku dan menanyakan keadaanku.
Saat langkahnya semakin dekat, aku melepaskan genggaman Harris. Aku bergegas pergi, menjauh sebelum Allen semakin dekat.
"El.." ucap Harris yang masih bersikeras menahanku kali ini suaranya terdengar lembut. Saking lembutnya suara itu terdengar samar.
"Kalau dia tidak mau jangan dipaksa" ucap seorang Pria yang tiba-tiba saja muncul. Sepertinya Pria yang disidang sebelum Aku. Aku baru memperhatikan ternyata Ia mengenakan jubah biru, sama sepertiku.
"Apa? Kamu siapa?" ucap Harris tidak terima langkahnya dicegah.
Aku menyentuh pria itu, hendak bertanya letak toilet. Namun, baru sedikit membuka mulut, darah itu sudah menetes. Harris terkejut, sementara Pria itu seakan mengerti apa yang akan aku ucapkan, Ia membawaku ke arah toilet yang ternyata letaknya tidak jauh dariku. Hanya tidak ada tulisan toilet di depannya.
Aku masuk ke dalam, memuntahkan gumpalan darah di wastafel yang sejak tadi tersimpan dalam mulut, dan berkumur. Usai membersihkan mulut, Aku melihat diriku dari pantulan cermin. Mata merah dan anak rambut berantakan. Aku mengusap wajahku, membersihkan sisa-sisa air mata. Kemudian, beralih menuju pergelangan tangan. Di sana, di dekat tanda itu terdapat banyak luka cakar dengan tiga garis yang sudah hangus terbakar.
Aku masih bisa merasakan pergelangan tangan yang berdenyut nyeri. Aku melihat perubahannya, satu-persatu titik pada garis itu muncul semacam api bewarna merah. Titik api itu semakin panjang, Aku berjalan menuju sudut toilet yang jauh dari pintu masuk, yang ternyata membuat titik itu berkurang. Sepertinya, semakin dekat jarak ku dengan Allen, titik itu akan semakin memanjang.
Aku menutup pergelangan tanganku dan memutuskan untuk menunggu di dalam toilet. Menghindar untuk bertemu dengan Allen dan teman-temannya. Berharap mereka pergi lebih dulu.
Lima menit.. sepuluh menit.. rasa nyeri itu tidak kunjung hilang.
"El, kuharap kamu baik-baik saja. Maaf, Aku harus segera pergi" ucap Harris, suaranya menggema dalam toilet.
Aku berdecak, maaf katanya. Haruskah melihat keadaanku yang kacau dulu baru Ia akan meminta maaf? Sudah tiga kali, Harris.
Perlahan rasa nyeri di pergelangan tangan hilang. Aku menuju pintu masuk toilet, mencoba merasakan keberadaan Allen dengan pergelangan tanganku. Rasa sakit itu benar-benar sudah hilang. Sepertinya mereka sudah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Grey in Me
רומנטיקהEllyna harus melalui usia delapan belas tahunnya dengan hati-hati. Menghindar dari seseorang tanpa tahu siapa yang harus dihindari, tanpa tahu apa penyebab dan alasannya. Hanya bermodal ucapan Ayahnya sebelum pergi 'Berhati-hatilah, dia berbahaya'. ...