03: Sampai Jumpa

16 3 0
                                    

Aku membuka jendela, membiarkan cahaya dan udara pagi masuk sepenuhnya ke dalam kamar, merenggangkan otot tubuh yang kaku, dan menghirup udara dalam-dalam berusaha mengurangi rasa kantuk.

Matahari masih setengah bersembunyi di balik bukit, sementara warga sudah sibuk melakukan aktivitasnya masing-masing.

Aku melangkah menuju dapur ingin membasahi tenggorokkan yang kering. Namun, sebuah kotak di atas meja makan mengalihkan kegiatanku. Aku membaca catatan kecil di atasnya, 'Selamat ulang tahun, sayang. Maaf hari ini Ibu harus pergi lebih pagi. Nanti kita makan malam bersama ya'.

Aku tersenyum simpul, di tengah-tengah kesibukkannya Ibu masih sempat membeli kue ulang tahun.

Aku membuka kotak itu, menyalakan lilin, dan memejamkan mata.

Delapan belas tahun. Usia yang sejak dulu diwaspadai oleh ke dua orang tuaku. Usia saat kakak meninggalkan kami. Ucapan Ayah tersimpan jelas dalam benakku, 'Berhati-hatilah, dia berbahaya'.

Aku memfokuskan diri, memohon, dan berdoa dalam diam. Semoga Aku bisa melalui usia ini dengan baik-baik saja. Semoga apa yang selama ini ditakutkan tidak terjadi.

Aku membuka mata dan meniup lilin itu hingga mati. Kebiasaanku sejak dua tahun terakhir, setelah Ayah meninggalkan Aku dan Ibu karena sakit.

Air putih ku tuangkan dalam gelas, meneguknya, dan memasukkan kue itu ke dalam kulkas.

Langkahku terhenti, menatap bingkai foto di atas kulkas. Aku meraihnya, melihat wajah Ayah, Ibu dan Kakak tersenyum sambil mengenakan jubah merah dan Aku berdiri di depan Ibu tanpa mengenakan jubah.

Aku melangkah ke dalam kamar mandi, melepas jubah berwarna biru, lalu pakaian satu-persatu membiarkan pakaian itu tercecer di atas lantai. Mataku menangkap gambar yang sejak kecil berada di balik bahu kananku dari pantulan cermin. Sebuah tanda lahir berbentuk hewan anjing dan singa dengan mulut terbuka.

Setiap orang memiliki tanda lahir yang sama dengan pasangannya. Untuk para bangsawan menemukan pasangan adalah hal yang penting, karena bertemu dengan pasangan dapat membantu mereka mengendalikan kemampuannya. Hal itu tidak berlaku untuk orang sepertiku.

Aku menatap pergelangan tangan kananku, di sana ada tanda berbentuk bintang. Semua orang yang memiliki tanda bintang di pergelangan tangannya. Tanda itu bagai identitas penting yang membedakan kedudukan setiap orang. Tanda bintang dibedakan menjadi tiga warna, merah, biru, dan hitam. Sama seperti warna jubah.

Warna merah untuk kemampuan yang dikaruniai sejak lahir, seperti Luna dengan kemampuan melihat aura, Ibu membaca pikiran, dan Ayah menggunakan sihir.

Warna biru untuk kemampuan manusia pada umumnya yang dapat diasah dan dibentuk dengan tekad dan keuletan diri, seperti Luke dengan kemampuan atletnya.

Aku menatap nanar tanda bintang berwarna abu-abu di pergelangan tanganku. Setidaknya bukan warna hitam, karena warna hitam untuk orang-orang yang tidak memiliki bakat atau enggan menemukan bakatnya.

Kedua orang tuaku selalu mengatakan bahwa tanda yang ku miliki berbeda karena Aku memiliki kemampuan yang spesial. Setelah itu, Aku diajarkan untuk menemukan bakat ku. Menunjukkan kemampuanku dihadapan pemerintah dan mendapatkan kartu identitas berwarna biru. Kata Ibu, ini adalah identitas keduaku. Identitas yang harus ku pertahankan sampai kapanpun dan Aku harus melupakan identitas abu-abu. Menyembunyikan identitas pertamaku dari siapapun.

Aku mengusap wajah gusar, menarik rambut kasar. Rasa sesak mulai menghantam dada. Tubuhku memanas dan bergetar hebat. Ingin rasanya berteriak, marah, menghantam benda keras untuk meluapkan amarah.

Menjadi berbeda itu sulit, melelahkan, dan.. menyakitkan. Aku bahkan harus menyembunyikan hal ini dari teman terdekatku, Luna.

Rasanya seperti pendosa yang sedang menyembunyikan perbuatan buruknya agar tidak diketahui siapapun. Seperti pemburu yang selalu berhati-hati saat melangkah karena takut menginjak jebakannya sendiri.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang