05: Selamat Tinggal

18 1 0
                                    

Semakin malam, semakin gelap. Tidak ada satupun cahaya yang masuk ke dalam ruang. Aku duduk di dalam jeruji tempat Allen meletakkan pil. Merasakan udara yang semakin dingin, juga suara jangkrik bersahutan.

Suara pintu membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar Aku bergerak hingga menyentuh dinding. Bersiap-siap jika Allen dan Sergio kembali datang.

Sesosok perempuan muncul dari balik pintu, dengan senter, dan kotak di tangan. Di belakangnya diikuti oleh seorang wanita yang sepertinya membawa kain berukuran besar.

Ibu. Aku mendekapnya erat, menyalurkan rasa bersalah atas janji yang diingkari, mengatakan maaf karena telah melihatku dalam keadaan yang menyedihkan, juga rasa rindu dan terima kasih atas kehadirannya.

Ibu melepaskan dekapan, membawaku ke dalam jeruji dan duduk di atas matras yang ternyata sudah disiapkan oleh Luna.

Katanya, janji harus ditepati. Oleh karena itu, Ibu berusaha sebisa mungkin untuk makan malam denganku. Kami makan malam sambil mendengar penjelasanku bisa sampai di sini. Di hukum, di tempat ini.

Luna mengumpat selama mendengarnya, Ia mengucap sumpah serapah untuk Harris dan Skylar. Tak lupa memperingatkan Aku agar menjauh dari mereka. Sementara, Ibu hanya diam mendengarkan.

Aku tahu, tidak perlu dikatakan pun sebenarnya Ibu sudah tahu. Ibu juga pasti sudah tahu tentang pergelangan tanganku.

Usai Aku menjelaskan semuanya. Giliran mereka yang menjelaskan. Katanya, Luna mendengar kabar dari pekerja di rumahnya. Sedangkan, Ibu diberitahu langsung oleh Pria utusan Pangeran bernama Sergio. Setelah mendengar itu, Ibu bergegas menemui Luna. Luna dengan mudah mendapatkan akses ke bangunan ini karena tidak ada penjaga khusus yang menjaga tempat ini. Selain itu, kunci gedung ini juga tidak hanya satu.

Cukup lama keduanya berada di sana. Menghangatkan ruang yang tadinya dingin. Tanpa terasa, sudah waktunya Luna pulang. Ia berpamitan dan berkata akan kembali pukul lima pagi untuk membantu Ibu membawa kembali matras dan selimut. Sementara, Ibu tetap tinggal bersamaku.

Aku tidak enak hati membuat Ibu berada disituasi ini. Harusnya Ibu tidur di rumah dengan kasur yang empuk, ruang yang hangat, dan terhindar dari serangga. Bukan di ruang sempit, pengap, dingin, dan banyak serangga.

Di sisi lain, Ibu tidak menunjukkan gelagat dan ekspresi tidak nyaman. Tanpa berkata, Ia menggenggam tanganku dan menyibakkan pakaian yang menutupi pergelangan tangan.

Aku bisa melihat Ibu terkejut. Dalam sepersekian detik matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka, dan napasnya tercekat.

Ibu mengusap luka itu dengan lembut, "Jangan berurusan dengan mereka" ucapnya.

Aku mengangguk, mengiyakan. Berjanji pada diri bahwa esok adalah hari terakhir. Setelah hukumanku selesai, Aku akan menghilang dari mereka bagai lenyap ditelan bumi.

Kami mendekap satu sama lain, menemukan kenyamanan masing-masing, hingga terlelap.

Luna kembali tepat waktu, mengajak Ibu pergi, menghilangkan jejak, dan membawa barang-barang itu. Sementara, Aku tetap duduk di dalam jeruji menunggu Allen membukakan pintu dan mempersilahkan Aku untuk pergi.

Sinar matahari sudah masuk melalui celah, tapi mereka tidak kunjung datang. Aku mulai merasa pengap.

Tiba-tiba saja, terdengar suara pintu dibuka. Aku menghela napas lega begitu melihat Harris. Setidaknya untuk saat ini pergelangan tanganku aman.

"Allen sudah menunggu" ucapnya.

Aku bangkit, melangkah keluar gedung. Menghirup dalam-dalam udara segar yang sejuk. Aku mengedarkan pandangan dan tidak menemukan Allen.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang