33: Mungkin, Dirasuki

7 1 1
                                    

Teh camomile berkhasiat untuk membantu tidur dan meredakan sakit kepala. Entah benar atau tidak, itu yang ku dengar dan tertulis di beberapa buku herbal. Pilihan yang tepat untuk diberikan pada Allen yang sedang sakit. Ibu kepala desa memang tahu yang terbaik.

Langkahku terhenti begitu membuka pintu, Allen berdiri di sana, di dekat pintu, menatapku lembut masih dengan wajah pucatnya.

"Kenapa? Ada yang sakit?" Aku terkejut melihatnya. Tubuhnya lemah, sampai pingsan, tapi sekarang malah berdiri di depan pintu.

"Tanganmu tidak sakit?" netranya menatap pergelangan tanganku yang sedang sibuk membawa kotak.

"Tidak" jawabku singkat.

Dalam sepersekian detik, Aku melihat senyum kecil terukir di wajah. Hanya sebentar, tapi netraku berhasil menangkapnya. Aku tidak tahu senyum itu untuk apa yang pasti itu adalah senyum pertama yang kulihat di wajahnya.

"Kenapa di sini? Butuh sesuatu?" semakin lama berdiri, Aku bisa melihat tubuhnya semakin goyah seakan bisa rubuh sewaktu-waktu.

"Bukannya kita harus bicara?" suaranya serak, terdengar parau.

Aku menghembuskan napas gusar, menarik lengan kemejanya dengan hati-hati dan membawanya ke kamar. "Tidak sampai kamu sembuh" ucapku selagi meletakkan selimut di tubuhnya dan meletakkan handuk hangat di atas kening.

Banyak kata yang perlu terucap dan pertanyaan yang butuh terjawab. Aku ingin mendengar kisah versi dirimu. Aku ingin kamu menghilangkan rasa penasaranku. Serta menjelaskan banyaknya situasi yang ganjil.

Jadi, istirahat lah sampai pulih. Supaya perbincangan kita tidak berhenti di tengah jalan, lalu Aku lagi-lagi ditinggalkan bersama penjelasan yang menggantung.

Aku hendak bangkit usai meletakkan handuk hangat di atas kening Allen, namun Ia menarik lengan kemejaku. "Aku tidak bisa tidur" ucapnya.

"Akan ku buatkan teh" Aku melepaskan genggamannya sebelum bangkit dan beranjak menuju dapur.

Lima menit kemudian, Aku kembali dengan langkah berat. Di depan pintu, langkahku terhenti. Ragu sekaligus takut tidak bisa berhadapan dengan sikapnya yang sekarang. Mungkin karena Allen sedang sakit, jadi lebih lembut. Mungkin karena Allen sedang lemah, jadi terlihat lebih tenang.

Allen saat sakit lebih sulit diprediksi. Terlebih setelah mengatakan kalau kita harus bicara. Untuk pertama kalinya, Allen berinisiatif.

Sebenarnya, penyebab utama dari keraguanku adalah statusnya. Aku segan tiap kali teringat ada perempuan yang sedang menunggunya. Di luar sana, ada sosok yang mencintainya. Sosok yang kemungkinan besar akan salah paham dengan keberadaanku.

Aku menghela napas panjang, sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk.

Allen masih di posisi yang sama. Terbaring di atas kasur dengan selimut yang menutup tubuh sampai dada dan handuk hangat sebagai kompres di kening. Kelopak matanya terbuka, menatap langit-langit yang kosong.

Aku meletakkan gelas di sisinya, membiarkan Allen sedikit bangkit dan meneguk teh itu tanpa bantuanku.

"Dimana Sergio?" tanyanya selagi kembali merebahkan diri.

"Menjemput dokter"

"Owen?" suaranya tidak serak seperti sebelumnya.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang