12: Tanpa Harap

11 1 0
                                    

Aku berhenti di depan pendopo yang letaknya di tengah desa, tidak jauh dari tempat paman. Di pintu masuk terdapat poster berisi jadwal kelas yang diselenggarakan. Hari senin untuk kelas melukis, selasa untuk kelas sastra, rabu kelas tari, dan sebagainya.

Dari pintu masuk, Aku dapat melihat bagian dalam pendopo. Di dalamnya terdapat beberapa kursi yang sudah siap dengan kanvas di depannya. Jumlahnya cukup banyak, mungkin hampir tiga puluh.

Selagi sibuk mengamati suasana dari luar, beberapa orang mulai berdatangan dan menempati kursi satu-persatu.

"Selamat pagi, Nona. Ingin ikut kelas melukis?" ucap Pria asing berjubah biru dengan kalung identitas bertuliskan, Panitia Sekolah Seni.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, netraku melihat beberapa orang yang masuk dengan alat melukis di tangan.

"Kami meminjamkan peralatan melukis" ucapnya sambil menunjuk ke arah tenda di belakangnya. "Kalau Nona berminat, silahkan isi formulir peminjaman" Ia memberikan satu lembar formulir ke arahku, lengkap dengan papan dan pena.

Aku tersenyum, meraih formulir, mengisinya, dan mengembalikan kertas itu padanya.

Ia membawaku ke arah tenda, menyerahkan formulir pada penjaga tenda, menukarnya dengan seperangkat kuas dan cat air, membawaku ke salah satu kursi yang terletak ujung kanan barisan tengah, kemudian mempersilahkan Aku untuk duduk.

Pukul delapan tepat, seorang pelukis muncul di hadapan kami. Pelukis terkenal yang salah satu lukisannya dipamerkan di kota saat ulang tahunku.

Ia memberi arahan pada peserta, tentang bagaimana menemukan ide, mengembangkan ide, membuat pola, membangun struktur. Sesekali berkeliling mengamati hasil goresan para peserta, memberi saran dan masukan, bahkan mengapresiasi goresan kecil milikku yang padahal terlihat abstrak.

Suasananya sangat tenang, kami fokus dengan kanvas masing-masing. Menuangkan, mengembangkan, dan mengeskpresikan diri melalui warna dan garis.

Semua berjalan baik-baik saja, sampai pergelangan tanganku mulai berdenyut perih. Semakin lama, semakin perih. Tangan kananku bergetar hingga goresanku yang semula abstrak semakin tak berbentuk dan tanpa sengaja Aku menjatuhkan cat dan air.

Aku bisa merasakan seluruh pasang mata sedang menoleh ke arahku, beberapa panitia bahkan sudah menghampiri, membantu membersikan noda cat dan air. Sementara, tubuhku masih terkejut. Mematung dengan tangan kanan yang bergetar hebat di atas kanvas, tangan yang rasanya semakin perih.

Tidak mungkin. Tidak mungkin Allen ada di desa ini.

"Tidak apa, yang lain silahkan melanjutkan lukisannya" ucap pelukis pada peserta yang lain.

Tidak mungkin pula Aku terlihat kesakitan di depan orang banyak. Di depan hampir tiga puluh peserta, pelukis terkenal, dan belasan panitia. Ingin rasanya menjerit, meremas atau menggigit pergelangan tanganku seperti biasa, atau paling tidak sedikit meringis. Tapi, Aku tidak bisa. Tidak di depan banyak orang, terlebih di desa orang lain.

"Nona, ada yang bisa kami bantu?" ucap salah satu panitia.

Aku masih tertegun dengan posisi yang sama. Menahan sakit, menahan malu, sekaligus berpikir mencari alasan yang tepat.

"S.. sa.." ucapku dengan suara parau yang bergetar. Suara yang sepertinya tidak bisa didengar siapapun.

Kala sedang menguatkan diri supaya ucapanku bisa didengar, panitia itu pergi. Digantikan oleh jubah merah yang mengasingkan keberadaanku dari yang lain.

Ia mengambil alih kuas di tanganku, menarik lengan baju membiarkan tangan kananku jatuh di atas paha.

Aku menoleh, Allen sedang berdiri dengan tatapan yang dingin. Tubuhnya yang besar dan tinggi menutupi pandangan orang lain ke arahku.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang