28: Berserah

6 1 0
                                    

Lama tak berjumpa, Luna menceritakan projeknya bersama Allen dan Harris untuk membangun pendopo di tengah desa, menceritakan persiapan pesta pertunangan hingga jalannya pesta, sementara Aku menceritakan kegiatanku selama berada di rumah karantina.

Kami banyak berbincang sampai tidak sadar langit mulai petang. Usai puas bertukar cerita, kami bangkit dari duduk dan bergegas menuruni bukit.

Langkah kami dihentikan oleh seorang anak laki-laki yang kini berdiri dihadapan kami dengan sepeda disisinya.

Aku berlutut menyesuaikan tubuh dengan anak itu, tersenyum, dan menyapanya ramah. Anak itu terlihat tidak asing. Ia menyerahkan satu bungkus biskuit, "Kata Ibu, kalau Aku bertemu kakak lagi Aku harus mengucapkan terima kasih" ucapnya dengan suara yang terdengar imut.

Setelah mendengar ucapannya, Aku tenggelam dalam ingatan mencari sosok anak laki-laki ini yang ternyata adalah anak kecil yang pernah ku tolong.

Aku menerima biskuit itu, "Terima kasih kembali" ucapku.

"Kak Harris bilang kalau Kakak suka biskuit" ucapnya. "Jadi, kuberikan biskuit kesukaan ku" Ia menunjuk ke arah biskuit ditanganku.

Mendengar suara sekaligus melihat gerak geriknya yang menggemaskan, tanpa sadar Aku tersenyum semakin lebar. Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan.

Untuk sepersekian detik, Aku teringat biskuit ini sama seperti merek biskuit yang pernah Harris berikan padaku. "Sepertinya, Aku akan sangat menikmatinya" ucapku.

Anak itu menunduk malu, kemudian berpamitan untuk kembali bermain. Luna yang semula tidak mengerti, ku jelaskan hingga Ia mengerti. Tentu saja tidak ku ceritakan sampai akhir, cukup sampai sebelum Skylar datang. Setelah itu, kami berjalan beriringan dalam hening sampai Aku teringat poster pemberian Ibu.

"Lun, bagaimana menurutmu kalau Aku mengajar?" tanyaku.

Dalam beberapa detik, Ia menoleh sebelum berkata "Menurutku? Kedengarannya bagus".

"Meskipun Aku harus pergi jauh?" tanyaku.

Luna mengangguk, "Selama kamu menyukainya, bukankah akan baik-baik saja?".

Ucapannya tidak jauh berbeda dengan Ibu. Selama Aku bisa menjadi diri sendiri, selama Aku menyukainya. Memangnya bagaimana rasanya menjadi diri sendiri? Akupun sudah lupa rasanya menyukai suatu hal. Sudah dua tahun sejak Aku menikmati gairah dalam diri akibat bernyanyi dan melukis. 

"Berjanjilah padaku" langkah Luna terhenti, Ia menangkap netraku lembut. "Begitu kamu tidak lagi menyukainya, kamu harus kembali. Jangan memaksakan dirimu" lanjutnya.

Aku menangkap netranya yang terlihat khawatir dan sedih pada kalimat terakhir, melihat itu membuatku mengangguk tanda mengerti.

Ia tersenyum, "Jadi, dimana?" tanyanya selagi melanjutkan langkah.

"Di Desa Legarden" ucapku.

"Ah, Aku sempat melihat poster itu di kantor desa" Ia berhenti sejenak seakan sedang menggali kembali ingatannya. "Sepertinya kamu harus bergegas, seingatku lowongan itu hanya dibuka untuk satu orang" lanjutnya.

Baru akan menjawab, Luna menunduk tanda hormat pada seseorang di hadapannya, membuat netraku menoleh mengikuti arah pandangnya. Dihadapan kami tengah berdiri Allen, Sergio, dan Skylar. Menyadari kehadiran mereka, Aku membungkuk tanda hormat.

Detik itu, bersama rasa ingin tahu yang belum sempat terjawab, Aku mengarahkan netraku pada jari manis Skylar. Benar saja, cincin dengan permata berwarna putih melingkar indah di jari manisnya.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang