Bagiku, mengajar bukan pekerjaan yang sulit. Sekedar menyampaikan, menguji, lalu memberi contoh baik. Hanya saja, tanggung jawabnya sangat besar. Bila satu-dua kalimatku salah, maka mereka akan mencerna ilmu yang salah.
Hari ini, kami mendaur ulang kertas. Mereka asik menghancurkan kertas menjadi bubur, menyaring, mencetak, lalu dijemur di bawah terik matahari. Setelah dijemur, artinya kegiatan sekolah sudah berakhir.
Anak-anak pulang, bukan berarti Aku juga bisa pulang. Hari ini, Aku harus bekerja sedikit lebih ekstra. Harus menunggu bubur kertas itu setengah kering, supaya bisa diletakkan di dalam pendopo. Takut sewaktu-waktu kotor, terkena air hujan atau dibasahi embun pagi.
Selagi sibuk menyusun dan merapihkan bekas peralatan, dari sudut mataku, Aku merasa diperhatikan. Aku mencoba menoleh dan terkejut begitu melihat jubah berwarna merah. Sosok itu berdiri di depan pendopo, kurang lebih berjarak tiga meter. Di temani oleh sosok yang selalu bersamanya.
Detik itu, jantungku berdetak cepat. Aku bergegas mengalihkan pandangan, duduk membelakangi keduanya selagi berpura-pura tidak melihat.
"Kenapa belum pulang?" sebuah suara mengejutkanku, memaksaku untuk menoleh ke belakang.
Aku menghela napas lega begitu mendapati Owen yang sedang berdiri di belakangku. "Menunggu karya anak-anak kering" jawabku berusaha terdengar tenang.
Owen melangkah dan duduk di hadapanku. Membuat keningku berkerut. "Berapa lama?" tanyanya.
"Mungkin dua sampai tiga jam" Aku mengendikkan bahu tanda tidak tahu. Entah mengapa, Aku ingin menoleh, ingin memastikan penglihatan ku sebelumnya.
"Bagaimana dengan makan siang?" tanyanya.
"Nanti saja, di rumah" jawabku selagi mencuri pandang, menoleh sedikit, dan tidak mendapati apapun. Dua sosok itu hilang entah kemana. "Ada keperluan apa?" tanyaku pada Owen.
"Mau mengantar kayu ke rumahmu" jawabnya.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Allen dan Sergio di sini? Di tempat terpencil yang letaknya di perbatasan. Di tempat yang tidak mudah dijangkau.
Mungkin, dia berubah pikiran dan ingin mengatakan padaku bahwa Ia akan melakukan ritualnya. Tapi, tadi dia diam saja. Malah berbincang dengan Sergio, bukannya menghampiri dan mengatakan.
Apalagi, Allen. Kali ini apa? Kenapa kamu membuat jantungku berdetak seperti ini? Kenapa kamu membuatku merasa gelisah?
Begitu melihatmu, rasanya pertahananku hancur. Tidak ada lagi Ellyna yang ceria dan tegar. Padamu, Aku ingin mengatakan banyak hal sekaligus menuturkan pertanyaan yang mengganjal. Padamu, Aku ingin mengucap selamat sekaligus menanyakan kabar. Padamu, Aku ingin menumpahkan amarah dan pedih yang tersimpan.
Mungkin, tadi hanya ilusi.
"Aku senang. Kamu kelihatan nyaman di desa ini" ucap Owen membuyarkan lamunanku.
Aku menunduk begitu merasa netraku mulai basah. Aku mengusapnya, sebelum menanggapi. "Terima kasih padamu, karena sudah banyak membantu" Aku tersenyum ke arahnya.
Ia ikut tersenyum singkat, "Sudah tugasku".
Berhubung Owen ada di sini, lebih baik Aku mengalihkan pikiranku. "Sebenarnya, ada yang ingin ku ketahui tentangmu".
Owen mendekatkan tubuh dan menopang dagunya dengan tangan kanan. "Tanyakanlah, Aku akan menjawabnya sebisa mungkin".
"Tapi, mungkin ini akan terdengar sensitif" ucapku dengan nada yang terdengar ragu.
"Tidak apa, Aku sudah terbiasa menjawab pertanyaan yang sulit dan aneh".
Aku terkekeh selagi meyusun kalimat. "Aku tidak menyangka kamu anak kepala desa".
KAMU SEDANG MEMBACA
The Grey in Me
RomanceEllyna harus melalui usia delapan belas tahunnya dengan hati-hati. Menghindar dari seseorang tanpa tahu siapa yang harus dihindari, tanpa tahu apa penyebab dan alasannya. Hanya bermodal ucapan Ayahnya sebelum pergi 'Berhati-hatilah, dia berbahaya'. ...