17: Abu-Abu*

10 1 0
                                    

Aku terbangun di atas matras yang keras, dengan jubah biru menyelimuti tubuh. Jubah yang Akupun tidak ingat terlepas sejak kapan. Tubuhku perlahan bergerak berusaha merenggangkan otot yang kaku.

Usai merasa sedikit lebih baik, Aku bangkit dari tidur, duduk bersandar pada dinding, kemudian mengusap mata yang masih sembab.

Mataku menangkap mangkuk dan gelas plastik di samping tempat tidur. Mangkuk yang biasanya ku lihat di dekat jeruji besi. Aku meneguk gelas berisi air putih dan meraih mangkuk yang ternyata berisi nasi putih dengan ayam dan sayur tumis.

Nafsu makanku belum kembali, namun Aku menatap mangkuk itu nanar. Teringat ucapan Allen bahwa Aku harus bertahan sedikit lagi. Katanya hanya sedikit lagi. Jika Aku bertahan sekarang, akankah setelah ini semuanya benar-benar usai? Tidak ada yang tahu, hanya ada satu cara untuk membuktikannya.

Aku mengenakan jubah biruku, kemudian memaksa diri untuk melahap makanan itu, berusaha mengembalikan kekuatan diri supaya bisa bertahan untuk membuktikan ucapan Allen.

Sepuluh menit berlalu, makananku belum juga habis dan Aku sudah tidak sanggup memaksa diri. Aku menghela napas panjang, menatap mangkuk yang setengahnya kosong. Paling tidak sebagiannya sudah masuk ke dalam tubuh.

Baru akan mengembalikan mangkuk dan gelas di dekat pintu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dalam hitungan detik, seorang Pria membuka pintu dan Pria lainnya mengikat kedua tanganku di belakang tubuh, kemudian memaksaku untuk berjalan mengikuti arahannya.

Setelahnya, hanya tersisa suara langkah kami yang menggema di sepanjang lorong. Kami keluar dari jeruji, melewati barisan jeruji, kemudian berbelok hingga bertemu lorong yang panjang. Lorong dengan dinding berwarna putih dan lampu yang redup.

Tak.. tak.. tak.. suara langkah kami saling bersahutan. Suara yang disetiap ketukannya membuat bulu kudukku berdiri.

Mereka berhenti di depan pintu yang besar, membukanya, dan membawaku ke dalam ruang. Ruang berwarna putih, dikelilingi kursi bertingkat empat berwarna coklat. Di tengah ruang terdapat kursi yang menghadap ke arah yang sama, dua kursi berwarna merah yang mencolok karena letaknya berada tepat di depan logo kerajaan.

Satu tingkat di bawah kursi merah yang terlihat empuk dan nyaman itu, terdapat kursi yang sama. Hanya tidak sebesar kursi merah yang pertama. Satu tingkat setelahnya terdapat kursi berwarna hitam yang juga terlihat empuk dan nyaman, menyisakan satu tingkat yang kosong. Tingkat yang sejajar dengan kursi di tengah ruang.

Mereka membawaku duduk di kursi itu, kemudian meninggalkanku di tengah ruang yang kosong. Tidak lama sampai Aku mendengar suara pintu kembali terbuka. Satu-persatu dari dua orang Pria dan dua Wanita berjubah merah dengan tanda pangkat disaku kanan masuk dengan rapih dan duduk di kursi tengah, diikuti oleh Allen dan Harris yang duduk di kursi hitam.

Untuk sepersekian detik, netra kami bertemu. Tidak lama, Allen segera memalingkan netranya dariku. Sementara Aku tetap menatap ke arahnya, Ia terlihat berbeda. Selain kantung matanya yang menghitam, kali ini Allen memalingkan netranya terlalu cepat. Biasanya dia akan menangkap netraku, memandangku dengan tatapannya yang tajam dan menusuk, seakan ingin merobek pupilku, memaksa dirinya untuk menerobos masuk ke dalam benak.

Dengan sifatnya yang seperti ini, setidaknya Aku semakin yakin bahwa yang semalam hanya ilusi.

Semua orang berdiri begitu sampai dikursi mereka masing-masing, membuatku mau tak mau ikut berdiri sebagai tanda hormat. Setelah semua sudah masuk, Raja dan Ratu memasuki ruang. Aku membungkuk memberi tanda hormat hingga Raja dan Ratu duduk ditempatnya, diikuti oleh dua baris manusia di bawahnya, kemudian Aku memutuskan untuk duduk.

"Sidang kerajaan atas nama terduga Ellyna Albertine, tanggal 14 April, pukul sembilan dimulai" ucap Pria yang duduk tepat di tengah dengan tanda pangkat paling banyak di sakunya.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang