06: Menakutkan

13 1 0
                                    

Hari ini, Aku akan menjalani hari-hariku seperti biasa. Pertama, pergi ke pasar untuk menjual jasa melukis di pagi hari.

Aku duduk di dekat pintu keluar pasar dengan kanvas yang sudah berdiri tegak. Aku menyayangkan perlengkapan melukis ku yang baru, yang kini sudah entah dimana.

Pengunjung pasar mulai berdatangan, beberapa ada yang sudah selesai berbelanja. Tiba-tiba saja seorang Ibu menghampiri, meminta Aku untuk melukis anak perempuannya selama Ia berbelanja. Kalau seperti ini biasanya Aku dianggap sebagai pelukis sekaligus tempat penitipan anak. Tapi, selama diberi upah, Aku menerimanya.

Anak perempuan itu duduk di balik kanvas dengan tenang. Sesekali menguap dan memejamkan mata. Aku terkekeh, menggemaskan.

Selagi berusaha tetap fokus dengan lukisan, perlahan Aku merasa pergelangan tanganku berdenyut perih.

Semakin lama, semakin berdenyut perih. Jantungku berdetak lebih cepat, jemariku dingin. Aku bergegas bangkit, menggendong anak itu, dan bersembunyi di balik salah satu toko.

Perih. Tersayat. Terbakar.
Aku mengintip dari sudut toko, Allen dan teman-temannya sedang mengamati keadaan pasar. Harris sesekali berhenti di depan toko makanan. Skylar tidak membiarkan jarak hadir di antara dirinya dengan Allen. Sementara, Sergio seperti biasa mengikuti dari belakang.

Mereka melewati lukisanku. Meninggalkan Harris yang masih sibuk mengamati kanvas dan barang-barangku. Deg- semoga Harris tidak mengenali lukisanku. Tidak mengenali perlengkapan melukisku.

Dia membungkuk, meletakkan kotak di atas tanah, dan pergi menyusul ketiganya yang sudah jauh.

Aku menghela napas panjang, tidak sadar ternyata beberapa detik lalu sempat tertahan, lalu menoleh ke arah anak dipangkuanku. Beruntung anak ini tidak rewel. Ia malah tertidur di pangkuan. Sepertinya, hari ini akan menjadi hari yang panjang.

Setelah merasa aman dan pergelangan tanganku tidak sakit. Aku kembali duduk di tempatku, depan kanvas. Membiarkan anak itu tetap tertidur di pangkuan selagi Aku menyelesaikan lukisan.

Beberapa menit berlalu, lukisanku selesai. Ibu dari anak itu pun sudah kembali dan memberikan upah. Waktunya Aku pergi.

Aku merapihkan semua perlengkapan. Aktivitas ku terhenti kala melihat kotak yang sebelumnya diletakkan oleh Harris. Aku membukanya, ternyata kotak itu berisi perlengkapan melukisku yang baru, yang sebelumnya ku pikir sudah hilang, bahkan sudah sempat ku relakan.

Aku menangkap dua huruf EA pada tempat kuasku yang baru, huruf yang sama dengan yang ku tuliskan pada tempat kuasku yang lama. Luna benar-benar mengenalku dengan baik, bahkan dua huruf itu, dia tidak lupa.

Terik matahari yang semakin menyengat kulit menyadarkanku. Sudah waktunya Aku pergi ke rumah bernyanyi.

Delapan menit kemudian, Aku sampai di tempat bernyanyi. Mereka sedang berlatih untuk acara sore ini. Meski Aku tahu, Aku tidak akan datang dan bergabung dengan mereka. Aku tetap ikut berlatih. Tidak rela melepas kegiatan yang paling Aku sukai, bernyanyi.

Tidak ada yang berbeda dari biasanya. Kami mengulang beberapa nada, menghafal lirik, dan menjaga harmonisasi. Hanya saja, sesekali Aku merasa pergelangan tanganku berdenyut nyeri. Sampai-sampai Aku harus beralasan untuk pergi ke toilet sebanyak 5 kali.

Usai berlatih, Aku bergegas pergi menuju bukit. Membawa serta peralatan melukis yang sejak pagi ku jinjing.

Dari atas bukit terlihat warga yang sedang berlalu-lalang, menata kursi tamu, mendekorasi panggung kecil di tengah desa, memasang peralatan musik, dan memasak untuk sajian makan malam. Mereka sibuk menyiapkan pesta. Pesta yang sebelum-sebelumnya Aku tidak pernah absen.

Tanpa aba-aba, rasa sakit itu kembali muncul. Seiring dengan rasa sakit yang semakin perih, terdengar suara langkah mendekat. Bukan hanya satu, banyak langkah.

Aku memaksa diri untuk bergerak menuju semak-semak. Bersembunyi di sana, membiarkan peralatan melukis tergeletak di atas tanah. Ku pikir mereka tidak akan pergi ke tempat ini, ku pikir Aku sudah pergi cukup jauh, ku pikir rasa sakit hari ini sudah cukup, ternyata salah.

Aku mengamati mereka melalui celah di antara daun. Allen dan Skylar melangkah lebih dulu dengan Skylar yang menggenggam tangan Allen erat. Luna dan Luke mengikuti. Tidak jauh dari mereka, Harris dan Sergio mengikuti di belakang.

Terdengar Luna sedang menjelaskan tentang sungai di sisi bukit. Mungkin mereka menuju ke sana.

"Bukankah ini milik El?" ucap Harris yang langkahnya terhenti di dekat peralatan melukis.

Luna tersentak, Ia buru-buru menoleh dan menghampiri Harris. "Sepertinya tertinggal" ucap Luna berusaha mengalihkan Harris.

"Hmm, Aku tidak yakin" Harris mengedarkan pandangannya seakan mencari sesuatu. Tanpa sadar, Aku menunduk berusaha menghindari pandangannya.

"Aku akan membawanya" ucap Luna meraih perlengkapan melukis.

"Ris, cepatlah! Setelah ini kita harus pergi ke pesta" ucap Skylar memutar bola matanya malas.

Terdengar Harris menghela napas gusar. Tapi, Ia tidak mengelak dan langsung melanjutkan langkah.

Setelah memastikan mereka telah pergi, Aku keluar dari tempat persembunyian. Namun, seseorang tiba-tiba saja menahan lenganku.

Aku menoleh ke arahnya, Sergio. Ia sedang menatap ke arahku dingin, tanpa ekspresi, tanpa mengucapkan apapun, tapi matanya penuh curiga.

"Aku tidak berniat jahat" ucapku.

Sergio menatapku tajam, tatapannya menusuk seperti sedang mencari sesuatu dalam diriku, pergelangan tanganku digenggam semakin erat.

"Aku bersumpah.." ucapku masih berusaha meyakinkan.

Sejujurnya, Aku sudah tidak punya tempat untuk pergi. Ini tempat pelarianku satu-satunya. Aku tidak ingin pulang karena Aku tahu rasanya akan menyakitkan mendengar kemeriahan pesta tapi tidak bisa bergabung. Aku juga tidak ingin Ibu melihatku saat sedih. Pergelangan tangan ku berdenyut nyeri, perih, tersayat.

"Lepaskan" suara khasnya yang berat dan dingin, tidak salah lagi, Allen.

Aku menoleh, Allen sedang menatap ke arahku dengan ekspresi yang tidak dapat terbaca. Aku meremas pergelangan tanganku begitu Sergio melepasnya.

Perih. Aku menunduk dan menggigit bibir bagian dalam ku diam-diam. Kami berdiri, menunggu, tapi tidak satupun dari kami membuka suara. Sementara, Aku semakin lama merasa semakin tidak tahan.

Aku menatap ke arah Allen, memberi isyarat untuk segera mengatakan hukuman, teguran, atau mempersilahkan Aku untuk pergi. Tapi, Ia tidak bergeming. Ia menatapku tanpa berkedip, sesekali melihat ke arah pergelangan tanganku seperti sedang mengamati sesuatu.

Di sisi lain, terdengar suara langkah. Suara dari arah mereka pergi. Sepertinya Harris, Skylar, Luna, dan Luke akan kembali.

Tidak, tidak Harris. Tidak juga wanita itu. Persetan. Aku meremas pergelangan tanganku, meyakinkan diri, berhenti menggigit bibir, dan berlari menjauh dari Allen dan Sergio.

Aku berlari dengan seluruh tenaga menuruni bukit, tanpa arah, tanpa tujuan. Sampai rasa sakit itu hilang.

Aku berhenti, berusaha mengatur napas yang tak terkendali, mengusap peluh di kening, dan menelan air liur untuk membasahi tenggorokan yang kering.

Aku sudah lelah. Aku tidak ingin lagi merasakan sakit itu atau berlari tiap kali bertemu dengan mereka. Lagipula Aku tidak salah, mengapa harus Aku yang selalu berlari dan terus bersembunyi?

Kini bukan hanya sulit, melelahkan, dan menyakitkan.. Berbeda juga menakutkan.

-The Grey in Me-

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang