35: Tiga Sudut Pandang

8 1 0
                                    

Setelah tiga kali minum obat dan istirahat tiga kali lebih banyak, kondisi tubuh Allen membaik. Dia bahkan bisa bangkit dan membersihkan diri, meski harus tetap dengan air hangat karena suhu tubuhnya belum sepenuhnya normal. Mungkin sekitar tiga puluh delapan derajat entahlah aku tidak pandai dengan angka.

Berdasarkan pengakuan Allen, ia sudah enam puluh lima persen jauh lebih baik. Menuju dua puluh lima persen hingga Ia benar-benar pulih. Katanya, sepuluh persennya disisakan karena hanya Tuhan yang sempurna. Aku terkekeh mendengarnya.

Usai makan pagi yang sebenarnya hampir menuju jam makan siang, Owen pergi. Katanya hendak mengambil kayu bakar tapi sampai saat ini Ia belum juga kembali. Mungkin, sedang menangkap burung atau memanjat genteng.

"Aku benci tidak bisa merasakannya" Allen menghela napas gusar selagi berusaha menelan mie pangsit di tangannya.

Kami duduk di ruang tengah, melahap makan malam bersama. "Lain kali, Akan ku buatkan lagi".

Ucapan yang tiga detik kemudian ku sesali. Bisa-bisanya Aku merasa yakin setelah ini hubungan kami akan baik-baik saja. Kepercayaan diri darimana, Ellyna?

Allen tersenyum, meletakkan mangkuknya yang kosong. "Baiklah, kamu sudah berjanji".

Aku juga meletakkan mangkuk, lalu menatapnya penuh tanya. "Aku tidak mengatakan 'janji'" ucapku dengan kening berkerut.

"Aku akan menunggunya" ucapnya tersenyum lalu beranjak menuju dapur, membawa tumpukkan piring kosong dan mencucinya.

Aku duduk di ruang tengah menjadikan obor sebagai penghangat di malam yang dingin. Allen kembali dengan teh hangat dan selimut ditangan, kemudian menyerahkannya padaku.

"Ada yang ingin kamu ketahui?" tanyanya begitu duduk di hadapanku dengan selimut miliknya.

Sepertinya sudah dimulai, mari kita lihat akhirnya. Takdir, silahkan mempersiapkan diri.

"Banyak" terlalu banyak, kalau disampaikan mungkin bisa sampai esok. "Aku tidak tahu baiknya memulai darimana" tambahku lagi-lagi tanpa sadar mengatakan hal yang muncul dipikiran. Tanpa berpikir atau sekedar menimbang-nimbang.

"Mau ku jelaskan dari awal? Saat pertemuan kita di acara festival?" tatapannya lembut, nada bicaranya tenang dan jelas.

Aku mengangguk, menajamkan pendengaran supaya tidak salah tangkap.

"Kalau ditengah penjelasan kamu ingin marah kamu bisa memukulku. Jika ingin teriak, teriaklah. Kalau ingin menangis, menangislah" ucapnya.

"Tidak perlu sembunyi-sembunyi di belakangku" tambahnya.

Sejauh apa kamu tahu tentangku, Allen? Bahkan hal yang kulakukan di balik dinding, kamu mengetahuinya. Ada berapa banyak mata yang kamu pasang? Aku mengangguk.

Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum memulai.

Malam itu, pertemuan pertama kami adalah saat di festival. Allen berdalih dengan usianya yang saat itu masih remaja. Karena belum bisa mengontrol ekspresi dan emosi dengan baik, Ia marah kala melihatku seakan menertawakan kedua orang tuanya, lalu tanpa sadar menggunakan kemampuannya.

Aku dibawa pergi untuk disembuhkan. Katanya, tujuan utama mereka saat itu untuk mengembalikan energiku. Supaya Aku pulih dan bisa kembali beraktivitas seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi, percobaan itu gagal karena Allen belum tahu banyak tentang kemampuannya.

Pertemuan kedua, di pameran seni. Kala itu Allen memperhatikan dan menangkap gerak gerikku yang kesakitan. Tapi, dia berpikir karena Sergio menggenggamku terlalu kuat. Akhirnya, Ia melepaskan dan membiarkan Aku pergi.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang