36: Perjalanan Panjang

4 2 0
                                    

"Kak El, ayo ikut kami ke lapangan" ucap Joan salah satu murid perempuanku, tepatnya Adik kandung Jake.

Di sampingnya berdiri Jake dengan layangan dan benang, menunggu. Netraku bergerak, bertemu dengan milik Allen dan Sergio yang sedang berdiri di depan pendopo.

Sekolah baru saja selesai, mereka begegas mengambil layangan milik masing-masing. Tidak sabar, untuk bermain.

Menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. Jadi, biarlah Aku bersenang-senang sebelum pulang.

Aku mengangguk, membiarkan Joan menggenggam tanganku dan membawaku ke lapangan diikuti oleh tiga Pria lainnya.

Ternyata lapangan sudah ramai, ada beberapa murid, Dean, Gail, dan Owen. Kami menerbangkan layangan, mengadunya, lalu minta tolong pada Owen untuk mengambil layangan itu kalau jatuh di atas genteng atau tersangkut di atas pohon.

"Kak oweeenn" ucap Joan dengan nada merayu. "Tolong Joan, hehehe" Ia menunjukkan barisan giginya dengan tatapan memohon.

Owen menghembuskan napas gusar, "Mulai besok, Aku tidak akan menerima permintaan yang berkaitan dengan layangan!" ucapnya selagi melangkah pergi.

Aku terkekeh melihat ekspresinya yang merengut kesal. Terlebih setelah mendengar Joan bergumam, "Paling hanya asal bicara seperti biasanya".

Selagi menunggu Owen kembali, kami istirahat di bawah pohon. Terik matahari cukup menyengat, tapi karena desa ini di atas bukit suhunya tidak terlalu panas. Masih bisa tergolong sejuk.

Allen dan Sergio bergabung bersama kami sambil menyerahkan dua botol minum. Aku mengucap terima kasih dan menerimanya dengan senang hati.

"Kak El, bagaimana caranya memaafkan?" tanya Joan memecah keheningan. Ia menceritakan pertengkarannya dengan Neo yang juga salah satu muridku. Katanya, kemarin Neo tidak sengaja menginjak layangan miliknya. Neo sudah minta maaf, Joan juga sudah memaafkan. "Tapi Neo tidak percaya" tambahnya mengakhiri penjelasan.

Detik itu, Neo menghampiri kami. Ia menyerahkan botol air minum pada Joan, tapi Joan menolaknya. Membiarkan Neo pergi dengan rasa kecewa di dirinya.

"Joan benar-benar sudah memaafkan?" tanyaku hendak memastikan.

"Sudah" jawabnya terdengar ragu. "Joan sudah memaafkan, tapi masih sedih karena layangan itu kesayangan Joan".

Allen dan Sergio hanya mendengarkan kami. Tidak mengatakan apapun, tidak pula berani menginterupsi. Diam-diam Aku merasa kasus Joan mirip dengan kasus ku.

Aku sudah memaafkan usai memahami dan mencoba mengerti Allen. Tapi, tiap kali melihatnya Aku teringat dengan kenangan pahit itu. Ingatan yang bisa disebut sebagai kenangan buruk.

"Mungkin Joan belum ikhlas" ucapku. "Joan harus menerimanya kalau layangan Joan sudak rusak" tambahku.

Memaafkan bukan berarti mengikhlaskan. Benar, yang perlu ku lakukan adalah menerima. Menerima semua peristiwa yang telah lalu, menerima rasa sakitnya, sekaligus menerima diriku yang baru.

"Kalau sudah menerima, nanti rasa sedihnya akan lepas" tambahku seakan meyakinkan diri sendiri.

Joan tersenyum ke arahku, mengangguk mengerti.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang