09: Bagai Hantu

12 1 0
                                    

Sudah hari ketiga setelah hari keputusan. Sudah tiga hari pula Aku bekerja di panti jompo. Menggantikan popok, membersihkan kamar mandi, membersikan kamar, menggantikan baju, mencuci pakaian dan perlengkapan makan, memasak, bahkan menyuapi lansia.

Selama tiga hari pula Aku bernapas dengan tenang. Sampai-sampai terlintas dalam pikiranku untuk tinggal di panti jompo ini.

Owen sangat membantu. Kami punya kerjasama dan komunikasi yang baik. Sesekali, dia membantu jika Aku kesulitan dengan lansia yang rewel, dia juga akan mengantarku ke halte jika sudah wakunya pulang, bahkan menemani hingga bus tujuan desaku tiba.

Aku menuangkan segelas air minum untukku dan Owen. Saat ini kami sedang makan siang di ruang istirahat.

"Terima kasih" ucap Owen.

Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan. Tiba-tiba, pintu ruang terbuka.

"Ellyna" suara Harris menggema di dalam ruang. Ia membenarkan letak kacamata, berjalan ke arahku, dan memberikan kotak padaku.

"Sudah baik-baik saja ya" ucap Harris sambil mengamati tubuh dan wajahku.

Aku mendengus gusar. Aku tidak bisa membedakan sifatnya yang asli dengan yang palsu. Benar-benar peduli atau hanya topeng.

"Apa ini?" tanyaku.

"Bukalah" ucap Harris.

Aku membuka kotak yang ternyata berisi enam buah donat. Aku menoleh ke arah Owen dan mengarahkan kotak itu padanya.

"Ambillah" ucapku.

Owen tersenyum, mengambil satu donat dengan meses cokelat di atasnya, dan mengucapkan terima kasih.

Aku melangkah mengabaikan Harris, menuju resepsionis, membagikan donat itu hingga habis tak tersisa.

"Wah, kamu bahkan tidak mencicipinya ya" ucap Harris yang sedang bersandar di depan pintu ruang istirahat.

Aku membuang kotak yang sudah kosong itu ke dalam tempat sampah. Kembali ke dalam ruang istirahat, membaca jadwal ku selanjutnya, dan bergegas pergi mengabaikan Harris.

"Pergi sekarang?" tanya Owen yang sudah mengikutiku di belakang.

"Iya" ucapku selagi melangkah dengan cepat menuju dapur untuk mencuci peralatan bekas makan. "Kamu istirahat saja" ucapku.

Deg-
Pergelangan tanganku berdenyut nyeri. Aku lupa. Tiap kali ada Harris, pasti ada Allen. Seiring dengan langkahku menuju dapur, pergelangan tanganku semakin perih. Untuk sepersekian detik, Aku menghentikan langkah dan berbalik. Owen yang terkejut tidak sempat menghentikan langkahnya, Ia menghantam tubuhku.

Aku goyah, tapi Owen berhasil menahan lenganku. Dalam genggamannya, Aku berbisik "Aku harus pergi".

Owen melepaskan dekapan, membiarkan Aku pergi ke arah sebaliknya. Tanpa bertanya, tanpa menahan, tanpa mengikuti. Aku berlari tanpa arah, menuju lapangan, bertemu dengan beberapa lansia yang sedang duduk di bawah pohon rindang.

Di luar dugaan, rasa sakitnya semakin terasa. Aku menoleh ke belakang. Benar saja, Allen sedang mengikuti.

"Berhenti di sana!" ucapku ke arahnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menoleh ke arahku.

Allen mengabaikan ucapanku. Ia tetap mendekat. Aku meremas pergelangan tanganku dan menghindar. Tanpa ku duga, Allen mempercepat langkah. Kini Ia berdiri dihadapanku. Rasa sakit yang biasanya perlahan-lahan muncul kini bagai di tusuk menembus tulang. Rasanya pergelangan tanganku akan bolong. Aku meringis di bawah terik matahari. Kakiku tidak mampu lagi menopang tubuh, membiarkan tubuhku duduk lemas di atas rumput yang hangat.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang