19: Hari Penghakiman

10 1 0
                                    

Tanpa mengulur waktu, tiga puluh menit usai sidang diputuskan, Aku di bawa menuju ruang penghakiman. Ruangan luas dengan nuansa yang gelap dan mencekam. Dicat dengan warna hitam dengan cahaya lampu yang redup.

Pada salah satu dinding, terletak berbagai macam alat penghakiman seperti cambuk, belati, pistol, dan tiang untuk mengikat terdakwa.

Mereka melepas jubah, mengarahkan untuk berdiri menghadap alat-alat penghakiman yang ditata rapih dalam lemari yang letaknya bersebrangan dengan pintu masuk, kemudian kedua prajurit itu mengikat kedua tanganku pada tiang menggunakan rantai besi.

Saat mereka melakukan tugasnya padaku, pintu dibelakangku terbuka, kemudian terdengar suara beberapa langkah.

Aku menoleh, menemukan Ibu di sebelah kiri yang juga sedang diperlakukan sama.

Apakah Allen tidak berhasil? Atau dia benar-benar menutup mata dan telinga?

"Semua sudah siap" seseorang berbicara melalui pengeras suara.

Saat itu, Ibu menatapku dengan tatapan yang lembut dan tersenyum. Senyumnya seakan mengatakan bahwa Ia baik-baik saja, bahwa kita akan baik-baik saja dan Ia akan selalu bersamaku. Apapun yang Ibu isyaratkan dalam senyumannya, yang Aku lihat saat ini bagai senyum perpisahan, seperti senyum yang ku lihat dalam mimpi saat Ibu, Ayah, dan Kakak melambaikan tangannya padaku.

"SATU!" ucap para prajurit lantang.

CTAK!
Tanpa aba-aba, Aku merasa benda keras baru saja menghantam punggung, mengenai tulang.

"DUA!"

CTAK!
Tempat yang pertama mulai terasa panas, sangat amat panas dan perih. Panasnya melebihi terik matahari yang menyengat di siang hari.

"TIGA!"

CTAK!
Tiap kali berpindah tempat, tempat sebelumnya akan terasa panas dan perih.

"EMPAT!"

CTAK!
Aku meringis begitu merasa cambuk kali ini menyentuh tempat sebelumnya. Seperti menggores luka yang basah.

"LIMA!"

CTAK!
Aku menahan napas, menggigit bibir, menahan diri untuk tidak meringis. Agar Ibu tidak khawatir.

"Selesai" ucap seseorang lagi melalui pengeras suara.

Aku menoleh ke arah Ibu karena tidak merasa mendengar suaranya, tidak ada suara meringis, tidak pula ada suara berteriak.

Ibu sedang menunduk, kemeja yang semula putih mulai terlihat bercak-bercak merah. Rantai sedang dilepaskan dari tangannya, setelah itu alih-alih berdiri, seorang prajurit menopang tubuh Ibu, Ia tak sadarkan diri.

Dadaku menyerngit perih, mata lelah menangis, tubuh tidak bisa bereaksi apapun, untuk beberapa menit Aku melupakan sakit ditubuhku. Ibu.. ku mohon.. bertahanlah..

Melihat keadaan Ibu membuat pertahananku jatuh, hingga Aku tidak sadarkan diri.

Entah berapa lama Aku tak sadarkan diri, saat membuka mata Aku sedang berada di atas kasur, terbaring telungkup dengan infus terpasang di tangan kiri.  Tiap kali menoleh, rasanya seperti membuka luka.

Seorang suster masuk, menjelaskan keadaanku. Katanya Aku tidak sadarkan diri selama dua jam, ada waktu empat hari untuk pemulihan sebelum Aku dipindahkan ke rumah karantina dan membuka segel.

"Ibu, Ibuku bagaimana?" tanyaku padanya.

Suster itu tersenyum ramah, "Lukanya sedikit lebih parah darimu, tapi beliau baik-baik saja".

Tanpa berpikir, Aku bergerak untuk bangkit dari kasur, "Kamu tidak diperkenankan menemui Ibumu" ucap Suster sambil membantuku untuk duduk.

"Kalau terasa sakit, kamu bisa minum satu pil obat ini", Ia menyerahkan lima tablet obat.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang