04: Hari Pertama*

25 2 0
                                    

Kami memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan Aku menceritakan peristiwa saat malam festival, sementara Luna mengenalkan mereka padaku.

Katanya Pria berkacamata itu adalah Harris, keluarga Harris adalah salah satu pengurus inti kerajaan. Pria tanpa jubah itu Sergio, pengawal Pangeran sejak kecil. Pria berjubah merah yang lain adalah Allen, anak tunggal Raja dan Ratu alias satu-satunya Pangeran di Istana Goldstain. Sedangkan, wanita itu adalah Skylar, Putri kerajaan Sapphire.

Dari tiga kerajaan di negeri ini, bisa-bisanya Aku bertemu dengan Putri kerajaan yang angkuh.

Aku mengangguk selama mendengar penjelasan sekaligus peringatan agar Aku lebih berhati-hati. Sementara, Luke hanya terdiam sepanjang perjalanan.

Satu setengah jam berlalu, kami sudah sampai di desa. Luna memberikan hadiah berisi satu buku sketsa yang baru, lengkap dengan kuas dan cat nya.

Aku mendekap Luna, berterima kasih, dan melangkah pergi hendak masuk ke dalam rumah.

"Perhatikan sikapmu"

Aku menoleh, Luke sedang melangkah ke arahku, sementara Luna sudah kembali ke dalam mobil.

"Berhenti membuat Luna dalam bahaya" ucapnya tegas menekankan kata di akhir kalimatnya.

Aku tertegun. Luke menatapku penuh amarah dengan rahang yang mengeras.

"Aku mengerti" ucapku.

Luke berbalik, kembali menuju mobil. Aku melanjutkan langkah menuju rumah bersama pikiran yang muncul diotakku. Membahayakan Luna tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku. Mungkin karena insting seorang sahabat untuk melindungi sahabatnya, secara tidak sadar Luna bersikap tanpa memikirkan dirinya. Tanpa berpikir bahaya yang dapat menimpanya. Jika, Aku berada dalam posisi Luna, kemungkinan besar Aku akan melakukan hal yang sama.

Tapi, tentu saja Luke keberatan. Luke tidak sampai hati melihat kekasihnya berada dalam bahaya hanya karena sahabatnya yang ceroboh. Terlebih berdasarkan informasi Luna, Aku sedang bermasalah dengan pihak kerajaan. Dengan para penguasa, yang resikonya sangat besar. Mungkin Luke benar, Aku harus berhenti bergantung dengan Luna.

Aku membuka pintu, meletakkan hadiah dari Luna di atas meja makan, dan membuka pergelangan tanganku.

Aku melihat pergelangan tanganku lebih dekat. Bintang yang semula berwarna abu-abu kini salah satu garisnya terlihat seperti luka bakar. Apa yang baru saja terjadi? Apakah salah satu dari mereka menggunakan kemampuannya padaku? Tapi.. siapa? Apa alasannya?

Aku menghela napas panjang. Siapapun itu, pasti salah satu dari mereka. Aku harus berhati-hati, karena Aku belum mengetahui kemampuan mereka.

Lebih baik Aku pergi ke bukit untuk melukis. Memperbaiki suasana hati yang memburuk. Selagi Aku mempersiapkan perlengkapan melukisku, terdengar suara ketukan pintu. Di depan pintu sudah tergeletak sebuah kotak berukuran sedang.

Aku berlutut, membukanya. Kotak itu berisi kue yang di atasnya tertulis 'Maaf'. Tanpa nama pengirim dan tanpa catatan khusus.

Tentu saja, Aku tidak langsung menerima kue itu, apalagi memakannya. Belum lama ini Aku bertengkar, anggap saja saat ini Aku punya musuh. Bisa saja itu kiriman sang musuh. Mungkin, kue beracun?

Aku membawa kue itu seiring perjalananku menuju bukit. Di tengah jalan ada seorang anak laki-laki yang tiba-tiba saja jatuh dari sepeda. Aku menghampiri anak itu, sedikit berlutut di hadapannya untuk mensejajarkan diri.

Anak itu menoleh dengan mata yang merah, menahan tangis.

"Tidak apa-apa menangis" ucapku.

Anak itu menangis. Aku membawanya dalam dekapan, dan mengusap punggungnya mencoba menenangkan.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang