tujuh ✓

18.3K 1.1K 9
                                    

"Kak ayo bangun!" Pagi- pagi sekali Afi sudah berada di kamar Alfin, mengguncang tubuh saudaranya itu untuk membangunkannya dan mengajaknya lari pagi bersama. Dirinya pun sudah siap dengan pakaian larinya.

"Apa sih Fi masih pagi," Alfin menggeser tangan Afi yang masih menggoyangkan lengannya, menarik selimut lalu kembali menutup matanya.

Afi menghela napasnya, baiklah Ia sudah mencoba. Afi dengan kesal melangkah menuju sofa samping tempat tidur Alfin, duduk di sana dengan kaki yang dihentak-hentakkan. Kesal sekali dirinya, padahal semalam Alfin yang mengajaknya lari pagi, semalam juga Afi sebenarnya sudah menolak dengan alasan masih belum kuat untuk lari. Tapi Alfin terus membujuknya, katanya Alfin akan menggendongnya, Alfin akan membelikan semua yang Ia mau, Alia juga akan ikut dan mereka akan bersenang-senang, jadilah Ia mau, toh sebenarnya Ia juga tidak mau bertemu dengan keluarganya. Tapi sekarang? Ah sudahlah.

Merotasikan bola matanya, Afi beralih menatap Alfin. Memperhatikan setiap lekukan wajah saudaranya yang lahir beberapa menit sebelumnya itu. Tanpa sadar matanya memburam, bibirnya yang tadi mencebik kesal kini mulai bergetar kecil.

Mengingat setiap kejadian yang pernah Ia lalui bersama Alfin membuatnya merasa bersalah. Alfin yang tidak pernah membiarkannya dalam bahaya dan rela melakukan apapun untuknya. Egois kah dirinya jika tidak ingin Alfin pergi meninggalkannya suatu saat nanti? Jahat kah dirinya jika tidak mau Alfin melanjutkan masa depannya dengan orang lain?

Afi mengalihkan pandangannya, tangannya bergerak menghapus air matanya sendiri. Tidak boleh seperti ini! Alfin pasti akan tetap melanjutkan hidupnya sendiri dengan keluarga kecilnya suatu saat nanti. Hal itu pasti, Afi hanya harus mempersiapkan dirinya.

"Kenapa? kok nangis?" sadar Alfin terbangun, mengayunkan tangannya dengan maksud menyuruh Afi mendekat. Diusapnya sisa air mata yang masih membasahi pipi adiknya itu, "Kenapa?"

Afi tanpa aba-aba menerjang tubuh Alfin, memeluknya sangat erat, menenggelamkan wajahnya di dada bidang laki-laki itu.

"Eh?! Kenapa Fi? Misael sama Cindy berulah lagi?" panik Alfin mengangkat dagu Afi, membuat Afi yang semula masih menenggelamkan wajahnya kini mendongak menatapnya.

"Kalau kak Alfin nanti punya keluarga sendiri, kak Alfin nggak akan tinggalin aku kan?" matanya kembali memburam, sedikit merutuki mulutnya yang dengan lancang berucap tanpa bernegosiasi dulu dengan otaknya.

Alfin menghela napasnya lega, sedetik kemudian Ia tersenyum, "Menurut kamu gimana? Ada nggak tampang-tampang aku rela ninggalin kamu?" tanyanya balik.

Sudut bibir Afi terangkat, "Nggak tau kak, tapi kalau emang suatu saat nanti kita nggak bareng-bareng, aku berharap kak Alfin selalu ingat aku."

***

Alia tengah berkutat dengan sorot dan ikat rambut di hadapannya, mengikat rambutnya menjadi satu lalu merapikannya menggunakan sisir. Setelah dirasa rapi, Alia meraih handphonenya lalu melangkah keluar. Tujuannya sekarang adalah kamar Alfin, tanpa mengetuk pintunya ia membukanya, "Kak ay-" ucapannya terjeda kala matanya menangkap Afi yang memeluk Alfin erat, tangan Alfin pun mengusap surai panjang saudarinya. Suaranya yang memang tidak terlalu keras membuat mereka sepertinya tidak menyadari keberadaannya.

Pemandangan seperti apa ini? Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia harapkan. Alia menutup lagi pintu kamar Alfin lalu kembalu menuju kamarnya, menutup pintu putih itu lalu merebahkan tubuhnya kembali ke kasur.

"Kenapa sih? Afi aja terus yang di perhatiin," kesalnya mendumal.

Ting!

Mendengar notifikasi pesan dari handphonnya, Alia meraihnya segera, mengetuk dua kali notif yang mampu membuatnya tersenyum setelah membacanya.

AFIA or ALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang