tiga belas ✓

20K 1.4K 24
                                    

"Mah tangannya gerak!"

Rosa menoleh seketika kala mendengar pekikan girang anaknya, matanya pun melebar, berbinar melihat pergerakan seperti yang anaknya katakan. "Panggil dokter Fi! Cepet!" titahnya cepat memerintah Rafi.

Rafi yang mendengarnya pun segera berlari menjauhi kaca, tempatnya berdiri tadi. Tidak perlu menunggu lama sampai dokter yang bertugas datang, "Ada apa Bu?" tanya dokter itu setelah sampai dihadapan Rosa.

"Ini dok tangannya tadi gerak," kata Rosa menunjuk ke arah dalam dari kaca pembatas besar dihadapannya.

"Saya periksa dulu ya Bu, silahkan tunggu sebentar," dokter bernametag Ega itu mulai memeriksa gadis itu, gadis yang sampai saat ini masih terbaring di dalam sana. Tapi Rosa berharap, ada kabar baik setelah ini.

"Dia nggak kenapa-kenapa kan mah?"

Rosa tersenyum mendengar penuturan anaknya, tangannya terulur mengusap punggung lebar milik putranya, "Doain yang terbaik sayang, dia pasti baik-baik aja," katanya menenangkan.

Menunggu dengan harap-harap cemas, sampai dokter Ega keluar dari ruangan itu, tersenyum ke arah mereka membuat mereka semakin gugup. Kira-kira apa yang akan disampaikan oleh dokter ini? "Sepertinya sebentar lagi dia akan segera sadar, kita tunggu saja Bu."

"Dokter serius?" sela Rafi semangat, mendengar kata sadar dari seorang berjas putih dihadapannya cukup membuatnya semakin gugup.

"Iya, saya permisi dulu ya, nanti kalau sudah sadar atau ada keperluan lagi bisa panggil saya," kata dokter itu seraya menunjuk senyumnya. Setelah mendapat anggukan dari Rosa, Ia segera pergi.

"Mah..."

Tanpa aba-aba Rosa memeluk tubuh putranya erat, menyalurkan rasa haru yang sudah tidak bisa dibendung, "Kamu berhasil sayang."

Rafi mengangguk dalam pelukan sang ibu. Jantungnya masih berdebar kencang, entah karena serangan tiba-tiba ini, atau karena hal lain yang tidak kita tahu.

"Mamah kabarin papah dulu," Rosa menguraikan pelukannya, mengusap lengan Rafi sebelum melangkah keluar dengan handphone di telinganya.

Mata Rafi kembali mengamati gadis di dalam sana, matanya tanpa perintah mulai memburam, "Makasih udah mau bertahan, gue janji nggak akan lakuin hal yang sama lagi," katanya. Tangannya bergerak naik guna menyeka air matanya yang dengan nakal menetes.

"Udah, mau jalan katanya," Rosa menghampiri Rafi, mengelus punggung anaknya sayang.

Rafi menoleh, "Dia mirip Lena ya mah," katanya tiba-tiba Rafi tiba-tiba.

Hati Rosa seperti meledak mendengar apa yang anaknya katakan. Jauh diluar ekspektasinya, ternyata mendengar Rafi dengan nada bicara yang berbeda dari biasanya mampu membuat hatinya tergores.

"Rafi mau jagain dia, lebih dari Rafi jaga diri Rafi sendiri."

Setetes air mata jatuh tanpa dipinta, pikirannya otomatis kembali memutar kejadian-kejadian lalu. Kejadiannya dimana Ia kehilangan seperempat jiwanya, dan Rosa juga yakin, Rafi pasti menyalahkan dirinya atas kejadian itu.

"Rafi nggak mau lagi jadi orang brengsek yang nggak ngelakun a-"

"Udah sayang, cukup. Jangan salahin diri kamu sendiri, Tuhan udah atur semuanya, dan yang terjadi kemarin atau sekarang, atau bahakan nanti itu udah versi terbaik dimata Tuhan," Rosa kembali memeluk tubuh putranya, walaupun sebenarnya Rosa tau Rafi memang bersalah, tapi ingin marah pun Ia tidak bisa. Apa yang terjadi kemarin memang sudah seharusnya terjadi, begitu pikirnya. Tidak ingin memperkeruh keadaan dengan marah dan mendiami putranya, Rosa lebih memilih untuk kembali merangkulnya, memperbaiki semua yang hampir roboh.

AFIA or ALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang