Pagi ini, terasa sedikit berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada teriakan heboh dari Bara, tidak ada adu mulut dari bara dan Rafi yang berebut kamar mandi, tidak ada canda tawa dimeja makan yang biasanya menemani kegiatan sarapan mereka. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring, suara gelas yang bertemu dengan kaca meja yang mengiringi sarapan mereka.
"Hati-hati ya, jangan lupa makan nanti." Ucap Rosa sebelum mereka benar-benar berangkat.
"Kita berangkat mah, pah." Rafi menyalimi mereka.
Mereka berangkat bersama, Rafi yang akhir-akhir ini sering berangkat lebih pagi juga memundurkan jam berangkatnya saat melihat Bara. Laki-laki itu, sungguh berbeda. Sangat-sangat berbeda, suaranya yang biasanya selalu menghiasi rumah ini hilang lenyap bagai ditelan bumi. Jika sekarang bisa memilih, Alena jelas akan memilih Bara yang berisik, Bara yang mengganggunya, Bara yang menyanyi bersamanya, Bara yang mengingatkannya untuk makan, Bara dengan segala kerusuhannya. Bukan bara yang sekarang, yang hanya diam. Untuk melihat senyum indahnya saja rasanya sulit.
Baru sampai didepan pintu mereka dihadang oleh seseorang yang bisa dibilang menjadi penyebab perubahan besar dalam diri seorang Nathanielbara. Pria itu berdiri disana, tampak menunggu namun ragu untuk mengetuk pintu.
"Eh?! Selamat pagi." Sapanya hangat, sedikit terkejut saat melihat mereka.
"Gimana? Tadi papah kerumah sakit katanya hasilnya udah diambil kemarin, kamu yang ambil?" Tanyanya.
Bara hanya diam,
Rosa yang dari dalam tidak mendengar suara deru motor segera menghampiri mereka, "Kalian kok belum berang—"
"Kamu ngapain disini?" Tanyanya tak santai saat melihat Arga yang berdiri dihadapan Bara, alisnya menukik pertanda tak suka.
"Jadi tadi pagi saya kerumah sakit, tapi mereka bilang hasilnya sudah diambil. Boleh saya lihat?" Ucapnya mengulangi maksud kedatangannya.
Rosa membatu, jantungnya berdegup saat mendengarnya. Matanya bergerak patah-patah melirik Bara, ingin melihat respon putranya itu.
"Bagaima—"
"Mah kok lama, loh Arga disini?" Ucap hara yang baru saja datang, ikut bingung melihat wajah istrinya serta anaknya yang berubah tegang.
"Jadi gimana? Boleh saya lihat?" Ulang Arga masih bertanya.
Pergerakan Bara membuat mereka terkejut, dengan emosi yang sudah memuncak Bara membuka tasnya lalu mengeluarkan secarik kertas yang berhasil membuat semuanya runyam, menyerahkannya kasar dengan kemarahan serta kekecewaan bercampur menjadi satu yang terpancar jelas pada sorot matanya.
Tanpa ba-bi-bu, tanpa menunggu respon Arga Bara segera pergi meninggalkan mereka. Memasuki mobilnya lalu melajukannya meninggalkan halaman rumah.
"Kalian berangkat aja, nanti telat." Harsa yang menyadari Rafi dan Alena basuh diam tak bergerak segera menegur mereka, menyuruhnya untuk segera pergi ke sekolah.
"Iya pah, kita berangkat." Ucap mereka yang langsung menaiki motor Rafi lalu pergi menjauh.
Masih dengan senyumannya Arga mendongak lalu berucap, "Bara anak saya,"
Air mata Rosa turun begitu saja, dadanya sesak bukan main mendengar penuturan itu. Kini semuanya terungkap, pria dihadapannya adalah biang dari semua masalah sahabatnya. Pria yang merusak kehidupan sahabatnya, pria yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, pria yang membiarkan sahabatnya hidup seorang diri dengan tekanan yang bisa membunuhnya kapan saja, dan dia juga pria yang membiarkan putranya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Pria brengsek yang tidak pantas diapanggi papah, pria bejat yang tidak pantas disebut suami.
PLAKK!
Emosi Rosa yang sudah mencapai puncaknya membuatnya sadar tidak sadar melayangkan tamparan di pipi kanan Arga. Pria itu meringis, kepalanya tertoleh kesamping.
"Bangga kamu?! Bisa bilang begitu kamu bangga?!" Sarkasnya.
"Darimana kamu selama ini? Membiarkan Dera sendirian mengurus anak kalian. Kamu dimana?!" Ucapnya menggebu.
"Kamu! Tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan kamu! Dan sekarang? Dengan bangga kamu bilang Bara itu anak kamu. Apa kamu nggak malu?"
"Nggak malu sama diri kamu sendiri? Nggak mau sama anak-anak? Nggak mau sama istri kamu?"
"Selama ini saya cari mereka, saya coba hubungi Dera tapi tidak pernah bisa, saya juga cari kerumahnya taid orang orang disana bilang Dera sudah pindah. Dan waktu itu saja juga mendapatkan kabar bahwa Dera dan bayinya tidak selamat saat melahirkan, maka dari itu saya tidak melanjutkan pencarian saya." Jelas Arga panjang membuat Rosa tambah muak.
"Lalu kamu percaya? Seorang Arga Pramana orang yang dikenal pintar itu percaya? Bodoh!" Umpat Rosa sudah tidak tahan.
"Mah, udahlah. Kita ngobrol di dalem aja, baik-baik jangan begini." Harsa mengusap punggung istrinya, menenangkan sebisanya.
"Mari, kita bisa bicara didalam."
"Oh, tidak usah. Terimakasih waktunya tapi saya harus kembali sekarang." Ucap Arga, tak lama setelah itu ia benar-benar pergi.
Tubuh Rosa meluruh ke lantai, bahunya bergetar hebat. Air matanya kembali turun dengan derasnya.
"Mah, jangan gini."
"Dia pah, dia yang bikin Dera ngerasain itu. Ternyata dia biangnya." Ucapnya disela-sela tangisnya.
"Iya, tapi itu udah berlalu kan. Yang harus kita pikirin sekarang itu Bara. Jangan sampai hal yang kita takutkan terjadi, mamah tau kan Bara itu gimana?"
"Itu juga yang mamah takutin, gimana kalau dia nekat?"
"Maka dari itu, kita gak boleh terlalu emosi. Kit yang harus tenangin dia, kalau kita sendiri begini gimana cara nenangin dia. Bara butuh kamu, tapi bukan kamu yang sama-sama emosi." Jelasnya lagi membuat Rosa mengangguk, Harsa menuntun istrian memasuki rumah. Mengambilkam segelas air dengan harapan agar istrinya lebih tenang. Namun seakan tidak diperbolehkan, saat kembali dengan segelas air Harsa melihat istrinya yang kembali menangis dengan telepon ditangannya.
"Kenapa mah?" Tanyanya mendekati Rosa.
"Bara pah..."
"Bara kenapa?"
"Rafi telepon, katanya Bara nggak ada di sekolah. Bara kemana pah?"
----------------------------------------------------------------------

KAMU SEDANG MEMBACA
AFIA or ALENA
Randomfollow dulu [LENGKAP] AFIA REYNA PRAMANA gadis yang terlahir triplets. Sempat merasakan kasih sayang, kehangatan, dan keperdulian dari keluarganya, hingga saat usiannya menginjak 12 tahun dengan alasan yang belum diketahui, ia dijauhi oleh orang tua...