empat puluh enam

4.2K 263 6
                                    

Hari ini, tepatnya di rumah sakit tempat Rosa dirawat dulu. Keputusan Bara yang mengiyakan ajakan Arga untuk melakukan tes DNA membuat Rosa terkejut, namun dengan usahanya meyakinkan dirinya sendiri dan suaminya yang selalu memberinya pengertian akhirnya Rosa mengijinkannya. Dan sekarang, mereka sedang menunggu Bara keluar dari ruangan pengambilan sampel. Rosa tidak mengalihkan pandangannya dari Arga yang duduk dihadapannya, mengawasi pria itu agar tidak berbuat hal yang bisa merusak keyakinannya.

Pintu ruangan terbuka, menampakan Bara yang berdiri disana dengan raut yang tidak jauh berbeda darinya. "Udah?" Tanyanya setelah beranjak.

Bara mengangguk, "Udah,"

Pintu ruangan itu kembali terbuka, tampak seorang dokter keluar dengan senyumannya.

"Gimana? Hasilnya negatif kan? Gak cocok kan?" Tanya Rosa bertubi saat melihatnya.

"Belum keluar Bu, kemungkinan dua hari kedepan baru bisa diketahui." Jelas dokter itu ramah.

"Tidak bisa sekarang?" Tanya Arga.

"Tidak pak, butuh proses dan ketelitian untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan bisa dipercaya." Jelasnya lagi, "Yasudah, saya permisi dulu." Ucapnya sebelum pergi meninggalkan mereka.

"Kita permisi dulu, ayo Bara." Rosa segera menarik Bara menjauh dari sana sebelum Arga kembali berucap.

Mereka menaiki mobil, bersiap kembali ke rumah.

Sedangkan dirumah Alena menunggu mereka dengan was-was, perasaannya campur aduk mendengar bara menyetujui permintaan Arga. Sedikit banyak Alena berharap jika hasil yang keluar adalah cocok, dalam artian menyatakan bahwa Bara adalah anak Arga yang ternyata adalah papahnya. Jika itu benar, artinya mereka bersaudara bukan?

Selama ini Alena memang menganggap Bara sebagai kakaknya, walaupun pertemuan awal mereka bisa dibilang tidak baik namun lambat laun semuanya perlahan berubah. Bara menyayanginya dan Alena tau itu. Bara bahkan pernah menyayanginya lebih dari kadar sayang untuk saudara, Alena juga mengetahui itu. Namun Alena sadar, rasanya untuk Bara sebatas seorang adik yang menyayangi kakaknya, dan ingin melihatnya bahagia.

Namun seakan tak setuju, takdir dengan seenaknya menghancurkan semuanya, fakta bahwa dirinya bukanlah putri keluarga Harsana mengharuskannya merasakan rasa sakit yang masih buram, rasanya sakit namun abu-abu, dan tidak jelas. Lalu kembali dibuat ternganga saat Arga —papahnya— menyatakan bahwa Bara adalah anaknya.

Ditemani Rafi yang masih berkutat dengan laptopnya Alena menunggu di ruang keluarga, sesekali tangannya bergerak menyuapkan biskuit keju dihadapannya.

"Nih, Tristan telepon." Rafi menyodorkan handphonenya setelah melihat nama sang penelpon.

"Hallo gembul! Kangen gue gak?"

"Enggak, dan gue gak gembul."

"Yeuu, gue didepan rumah Lo nih. Bukain cepet, gue dari tadi diliatin orang ntar dikira gelandangan."

"Ngapain? Kenapa gak masuk dari tadi." Alena mengerutkan keningnya setelah sadar layar handphone Rafi menampilkan gerbang rumahnya, segera ia beranjak untuk membukakan pintu.

Membuka pintunya lalu mempersilahkan Tristan masuk, "Ngapain Lo?" Tanya Rafi setelah melihat Tristan duduk dihadapannya, terhalang laptop tapi masih bisa terlihat.

"Iya, ngapain kesini? Bukannya Lo sakit?"

"Kata siapa sakit? Gue kemarin itu kesiangan, dari pada dihukum mending gak masuk. Lagipula jadwalnya juga gak banyak."

"Masuk aja kali, gue kemarin sendirian tau."

"Len, aku ke kamar aja gakpapa kan?"

Alena hanya mengangguk, setelah Rafi pergi Tristan menggeser posisinya menjadi lebih dekat. Dimulai dengan Tristan yang berucap 'Eh tau nggak?' obrolan itu menjadi panjang sampai saat dimana Bara kembali.

AFIA or ALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang