Valentine

454 160 116
                                    

       Maaf untuk segala kisah yang kurang menarik dan membosankan. Semoga kau tidak menyesal membaca ini. Penulis.

        Gadis itu duduk di hadapan meja riasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

        Gadis itu duduk di hadapan meja riasnya. Menatap pantulan wajahnya dari dalam cermin meja rias. Manik matanya yang bundar dan hitam—sehitam malam yang kelam—tampak berkaca-kaca. Ia raba wajah yang kata bunda adalah wajah yang paling bersinar layaknya rembulan. Wajah yang kata teman-temannya adalah wajah bopeng yang tidak menawan. Wajah yang selalu dipuji cantik oleh Hadi. Dan wajah yang paling ia benci.

          Air matanya menganak sungai setelah beberapa saat ia terdiam membiarkan pikirannya melayang. Gadis itu membiarkan air matanya kering di pipi. Tak berminat menyekanya walau setitik. Ia terjun ke dalam kesukaran hatinya. Luluh dalam kesedihan yang mendalam. Terlena dengan kata yang selalu mengiang-ngiang dalam ingatan.

         Namanya Wulandari Purnamadwi. Gadis cerdas yang tak pernah absen juara kelas. Berhati mulia seperti bunda namun keras kepala seperti ayahnya. Dia lahir ketika bulan purnama tergantung di sudut langit malam. Cahayanya yang indah berwarna perak dianugerahkan pula kepada Wulan. Wulan mewarisi tenang dan damainya paras purnama. Hatinya yang bersih adalah titisan purnama yang benderang. Dia bersinar, bersinar seperti bulan.

          Meski demikian Wulan adalah manusia. Gadis biasa yang bisa patah hati. Seperti remaja seumurannya, dia juga paham akan rasa "minder" yang selama ini menghantui hidupnya. Dia juga bisa menangis ketika dihantam oleh kata-kata tak mengenakkan yang dia dengar saban hari. Wulan juga manusia. Dia bernaluri. Berperasa.

          Masalah terbesar yang ia hadapi adalah kepercayaan diri. Setiap ia berhadapan dengan cermin. Setiap ia menatap wajahnya. Setiap ia raba wajah bopengnya itu. Dia merasa gagal menegakkan rasa percaya dirinya. Baginya cermin adalah musuh. Menurutnya akan lebih baik jika dunia tidak pernah menciptakan cermin. Namun ketidakmungkinan itu terkadang juga ia jungkir balikkan menjadi ..., akan lebih baik jika ia dikaruniai paras yang cantik seperti gadis seumurannya.

          Klek ....

       Lamunannya seketika buyar ketika bunda membuka pintu kamarnya. Buru-buru ia usap titik bening di pipinya. Seraya tersenyum Wulan bertanya, "Bunda, kenapa nggak ketuk pintu dulu?"

         "Loh, bukannya Wulan yang nggak bukain pintu buat bunda? Bunda sudah ketuk dari tadi. Bunda panggil-panggil, Wulan nggak nyahut. Karena pintunya nggak dikunci makannya bunda buka."

          "Aduh, Bunda ... Wulan nggak dengar."

          Bunda menggelengkan kepala. Wanita paruh baya itu kembali berkata, "Dicariin Hadi, tuh!"

          "Hadi?" ulang Wulan.

          "Iya, sudah sana temui dia!" suruh bunda.

          Wulan menghela napas, "Nggak deh, Bun. Bunda bilang saja ke Hadi kalau Wulan sudah tidur."

          "Loh, kenapa? Bukannya sudah janjian?" tanya bunda menggoda.

          "Nggak kok, kami nggak janjian!" tegas Wulan.

          "Ya sudah, temui saja dulu. Mana tahu ada hal penting yang mau dibicarakan atau mungkin tugas sekolah," suruh bunda, "nggak baik membiarkan tamu nunggu lama."

          Setelah bunda berkata demikian,  Wulan beranjak menemui Hadi. Ia menuruni anak tangga agar tiba di ruang tamu. Di anak tangga terakhir, netranya mendapati Hadi tengah duduk termenung di sofa. Wulan tersenyum ketika Hadi menyadari kehadirannya. Wulan melangkah mendekati Hadi lalu duduk di sofa yang berseberangan dengannya.

          "Ada apa?" tanya Wulan terus terang.

          "Jalan yuk, ke festival kembang di taman kota! Rame tuh. Katanya, dekat situ ada kios buku yang lagi diskon gede-gedean, nanti sekalian mampir. Pasti ada bazar cokelat juga," cetus Hadi.

           "Nggak deh, aku lagi nggak pengin kemana-mana. Lagian kalau cuma mau beli buku sama cokelat dilain hari juga bisa," tolak Wulan.
           "Tapi ...,"

          Wulan memotong, "Aduh, lain kali aja deh, Di. Aku lagi malas." Wulan bersikeras tidak mau ikut.

          "Tapi Kevin juga ada di sana," celetuk Hadi kemudian. "Kupikir kamu mau ikut," lanjutnya.

          Mendengar pernyataan itu, mata bundar Wulan terbelalak. "Oke, kita berangkat sekarang!" serunya dengan semangat yang membara. "Aku ganti baju dulu ya, kamu tunggu di sini sebentar."

          Wulan berlari kecil meninggalkan Hadi, hendak menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Sebelum langkahnya tiba di anak tangga, ia teringat akan sesuatu lalu membalik badan dan bertanya, "Kamu mau minum apa?"

          "Nggak usah. Kita minum di sana saja nanti," tolak Hadi.

          Wulan mengangguk ringan lalu segera berlari menuju kamarnya.

          Beberapa saat kemudian Wulan kembali menemui Hadi dengan mengenakan pakaian terbaiknya. Ia juga menyapu wajahnya dengan bedak. Tak luput bibirnya yang tipis ia poles dengan lipstik. Cukup menawan di mata Hadi. Jarang sekali Wulan berdandan. Itu karena Wulan tak mahir bersolek. Ini pun berkat kabar keberadaan Kevin di sana, sehingga ia berkenan ikut dan bematut diri sebaik mungkin.

          Malam ini Wulan tampil dengan gaun berpotongan pendek se-lutut. Rambut hitam yang biasanya dikepang dua, malam ini ia biarkan tegerai menampakkan kilaunya. Wulan juga memakai sepatu hak. Padahal ia belum pernah mengenakan sepatu itu sebelumnya. Ia juga menjinjing tas tangan yang belum pernah Hadi lihat sebelumnya. Penampilan Wulan malam ini jelas sangat berbeda. Beginilah ia jika mendengar nama Kevin, bagai sulap semua berubah seketika.

          "Gimana, aku cantik nggak?" tanya Wulan dengan pipi bersemu merah.

          Kamu selalu cantik, Lan. Kata-kata itu hanya terucap di dalam hati Hadi. Menjawab pertanyaan Wulan, Hadi hanya mengangguk secukupnya.

          "Ini gaun Valentine's Day-ku tahun lalu, masih patut kukenakan nggak sih? Soalnya aku merasa sedikit nggak nyaman," keluh Wulan kepada Hadi.

          Hadi mengembuskan napas pelan. "Kamu cantik pakai gaun itu," ungkap Hadi.

          "Oh iya, tas sama sepatu ini juga nggak pernah kupakai karena aku nggak nyaman memakainya. Ini hadiah dari Mbak Ratna sewaktu masih kerja di Singapura,” jelas Wulan kemudian. “Duh, penampilanku oke nggak sih?" tanya Wulan yang tampak resah.

          Hadi memegang pundak Wulan seraya menatap lekat wajah gadis itu. "Kamu cantik!" ujarnya, "udah, nggak usah banyak omong lagi. Kita berangkat sekarang."

          Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, Hadi dan Wulan turun dari vespa yang mereka tumpangi. Mereka akhirnya tiba di festival kembang yang setiap tahunnya selalu diselenggarakan. Wulan memusatkan pandangannya kesetiap sudut taman. Netranya mengincar bayang Kevin yang mungkin berada di sekitar sini. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang