Awal Ambisi

58 63 11
                                    

Siang itu guru-guru tengah melaksanakan rapat yang memang rutin dilaksanakan tiap semester sebelum ujian semester dimulai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang itu guru-guru tengah melaksanakan rapat yang memang rutin dilaksanakan tiap semester sebelum ujian semester dimulai. Jadwal kelas kosong karena guru tidak meninggalkan tugas mandiri kepada siswanya.

Di kelas XII MIPA 2, di tengah kesibukan siswa lainnya, Hadi membolak-balik buku catatannya. Membaca lembar demi lembar. Menghafal rumus demi rumus yang tertulis di sana. Hadi sadar selama ini ia lalai dengan kewajibannya sebagai seorang pelajar sekaligus anak yang harus membanggakan orang tuanya.

Hari-harinya di sekolah selama ini lebih banyak diisi dengan kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler. Meskipun itu positif, tetap saja sering membuatnya lalai untuk belajar dan mempersiapkan diri menyambut ujian sekolah.

Hadi duduk di sebelah Wulan. Mereka sama-sama tengah membaca buku. Pemandangan seperti inilah yang membuat Wawan usil menghampiri mereka.

"Rajin banget, Bro! Emang ada ulangan?" tanya Wawan sembari menepuk pundak Hadi.

Hadi balik bertanya, "Memang belajar pertanda ulangan?"

"Ya enggak sih, lagian tumben banget kau baca buku. Biasanya kau manfaatkan kesempatan kayak gini buat nongkrong di warung Mbok Narsih," ungkap Wawan yang masih tidak percaya dengan kegiatan Hadi hari ini.

"Itu dulu," dalih Hadi singkat.

"Sekarang kenapa nggak gitu lagi?" tanya Wulan menyerempet obrolan mereka. Mata gadis itu tetap fokus membaca kalimat demi kalimat yang ditulis dalam buku "Buku juga Bisa Jatuh Cinta".

Wawan menjentikkan jari. "Nah benar tuh!" imbuhnya.

"Ya karena ... emm ... sudahlah ngapain jadi pada kepo sih?"

"Karena kepo itu sebagian dari kebaikan. Apa salahnya sih kau jawab keheranan kami? Nih, ya, andai kau kasih tahu alasannya, bisa jadi kami termotivasi untuk rajin belajar macam kau sekarang ini.

"Nah, nanti kalau kami ikut-ikutan rajin belajar macam kau, terus kami jadi pintar dan diterima di PTN yang berkualitas, lalu lulus jadi sarjana dengan IPK terbaik. Setelah itu, kami diterima di perusahaan terkenal dan jadi orang sukses yang baik hati dan tidak sombong serta menyantuni orang miskin, pasti pahalanya nggak cuma kami yang dapat tapi juga mengalir ke kau," ujar Wawan panjang lebar tanpa arah.

Hadi melirik ke arah Wulan yang mencoba menyembunyikan tawanya di balik buku yang ia baca karena mendengar penuturan Wawan yang konyol tapi ada benarnya juga. Hadi menggulung buku catatannya lantas menimpuk Wawan. "Ngomong apa sih?"

"Ya, Tuhan, Wulan ..., pacarmu ini rupanya rada pekak. Aku ngomong panjang lebar masih nanya pula dia." Wawan tertawa.

"Idih, siapa juga yang pacaran?" sanggah Wulan.

Kita, suatu saat nanti, jawab Hadi dalam hati.

"Ayolah, Di, beri tahu kenapa kau jadi rajin begini?" paksa Wawan, "kalau kau enggan beri tahu kami, aku tarik asumsi nih. Jangan-jangan kau rajin belajar karena insecure sama pacarmu ya!"

"Wan, kau jangan ngomong aneh-aneh ya. Aku nggak punya pacar!" tegas Hadi.

"Halah, masak sih?!" goda Wawan sembari melirik Wulan-memberi kode.

"Kau ini, Wawan, kau menuduhku pacaran dengan Hadi?!" semprot Wulan yang merasa jadi bahan obrolan.

"Habisnya kalian dekat banget sih. Kayak tulang sama daging." Wawan terkekeh.

"Hussst, sudahlah kau ini jangan mengada-ada!" sergah Hadi.

Sepertinya untuk membungkam mulut kawan laki-lakinya itu ia harus mengatakan alasannya. Ketimbang obrolan ini berlarut-larut menjadi semakin panjang. Akhirnya Hadi mengalah dan mengungkapkan semua perselisihan tadi malam, termasuk mengatakan betapa khawatirnya Mama Rosa mendapati anaknya pulang babak belur.

Wulan yang menyimak cerita Hadi dengan saksama merasa bersalah lantas berucap, "Hadi, maafkan aku, ya. Aku tak bermaksud mencelakakanmu. Seharusnya kemarin kamu tidak melawan Kevin. Lagipula tidak masalah aku dimakinya di depan umum. Maafkan aku, Hadi."

Wawan berujar, "Heh, Wulan, beruntung benar kau punya pacar macam Hadi. Dia berani membela kau yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan apa pun terhadap Kevin. Lagipula kenapa sih, tampaknya kau perhatian sekali kepada pria berengsek itu."

"Wawaaaan!" geram Wulan, "heh, aku dan Hadi hanya teman dekat. Hadi membelaku karena aku temannya. Satu lagi, Kevin bukan lelaki berengsek."

"Darimana pula kau tahu kalau dia tidak berengsek?" Wawan masih menanggapi.

"Apa-apaan kalian ini, malah meribut nggak jelas. Jangan sampai kita jadi pusat perhatian, ya," bisik Hadi menengahi.

"Wawan tuh, nyebelin!" seru Wulan tidak ingin disalahkan.

"Hei, Wawan, sudahlah jangan pula kau meribut dengan anak perempuan. Malu! Lebih baik kau belajar yang rajin sepertiku agar pintar dan diterima di PTN yang berkualitas, lalu lulus dengan IPK yang bagus. Lantas kau dapat bekerja di perusahaan yang terkenal dan menjadi orang sukses yang baik hati dan tidak sombong serta menyantuni orang miskin. Biar pahala yang kau dapat dari perbuatanmu selama ini mengalir juga kepadaku," ulang Hadi mengikuti gaya bicara Wawan.

Wawan hanya mencibir ketika ucapannya dikembalikan kepadanya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang