"Kamu sungguh-sungguh akan berkuliah di Sidney?" tanya Wulan masih tak percaya.
Sore itu selepas melaksanakan ekstrakurikuler dan kelas tambahan, mereka mampir ke warung Mbok Narsih. Seperti biasa, warung kecil itu selalu ramai dikunjungi pembeli. Mas Surya sampai kewalahan meladeni para pembeli.
Adalah hal yang wajar apabila warung yang berdiri tidak jauh dari SMA Cakra ini selalu ramai pembeli. Selain tempatnya yang strategis-berada di pinggir jalan raya, 6 meter jaraknya dari rumah sakit Imanuel, dan hanya berjarak 2 meter dari SMA Cakra-harga semangkuk bubur ayam di warung Mbok Narsih juga ramah di kantung pelajar.
Kebanyakan pembeli di sini adalah para pelajar, dan pekerja rumah sakit. Rasa bubur ayamnya yang khas juga menjadi faktor yang membuat warung Mbok Narsih menjadi warung bubur ayam terfavorit.
"Iya, aku akan berkuliah di Sidney." Hadi menuang segelas air mineral dari teko.
"Kenapa mendadak begini? Lalu bagaimana rencana kita berkuliah di ibu kota?" tanya Wulan. "Kita kan sudah berjanji akan berkuliah di universitas yang sama."
"Maafkan aku, Wulan. Sepertinya rencana itu terpaksa dibatalkan. Papa sudah memutuskan semuanya dan aku tidak ingin menyakitinya, meski mama juga berat hati melepas kepergianku ke Sidney. Mama telah berkali-kali membujukku agar melanjutkan pendidikan di dalam negeri saja. Tapi setelah kuolah keinginan papa, ada benarnya juga.
"Aku anak tunggal di keluargaku. Papa punya harapan besar agar nantinya aku menjadi penerus perusahaannya. Beliau ingin aku menjadi sarjana yang berkualitas ketika memimpin perusahaannya. Bukan sekadar sarjana abal-abal yang mendapatkan gelar tanpa ilmu dan pengalaman yang kuat.
"Papa yakin, aku akan mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman jika belajar di negara maju. Aku tidak tahu bagaimana cara berbakti kepada mereka selain meneruskan perusahaan papa dan memberikan kehidupan yang layak di hari tua orang tuaku," terang Hadi. Sejujurnya ia masih kalut dengan apa yang ia ucapkan. Ia bahkan belum sepenuhnya yakin, apakah itu adalah keputusan yang baik untuknya?
Wulan menghela napas panjang. Ia tampak lesu setelah mendengar penjelasan Hadi. Namun, ia juga kagum dengan pemikiran Hadi yang bijaksana. Sepertinya pria itu benar-benar tidak ingin mengecewakan orang tuanya.
"Sekarang kamu juga harus fokus belajar, Lan. Jangan pikirkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan masa depanmu. Kamu pintar, pasti akan mudah bagimu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di ibu kota," nasihat Hadi pada Wulan.
"Iya, aku juga tengah berusaha. Tahun depan ayahku akan pensiun dari kerjanya. Mbak Ratna juga sudah berumah tangga. Beliau hanya mengirim uang sesekali, itu pun tak seberapa. Bunda juga mulai sibuk merintis usaha kuenya untuk menyambung hidup. Sungguh, aku tidak ingin merepotkan mereka. Aku janji akan memperjuangkan memperjuangkan masa depanku," cetus Wulan.
Saat tengah asyik berbincang, Mas Surya menghampiri meja mereka.
"Nah, ini dia bubur ayam spesial buat Hadi dan Wulan. Karena kalian mau mengalah dapat jatah pelayanan paling akhir, Mas Surya yang gantengnya sejagat raya kasih bonus suwir ayam yang banyak buat kalian," ungkapnya yang datang membawa dua mangkuk bubur ayam.
"Yeee, asyik nih dapat bonus tambahan!" Wulan tergelak. "Nggak sekalian diskon 50% saja, Mas? 'Kan kemarin Wulan sudah bantu cuci piring."
"Aduh, kalau gitu Mas Surya dong yang bangkrut." Mas Surya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Hadi menanggapi, "Makannya, Mas, lain kali kalau mau begadang nonton bola di pos ronda, pakai parka biar nggak masuk angin."
"Parka, parka, kau pikir aku ini mau manjat gunung," celetuk Mas Surya.
"Mendaki, Mas, bukan manjat." Wulan membenarkan kalimat Mas Surya.
"Hehe, iya itu maksudnya."
Ketika mangkuk bubur ayam Mas Surya turunkan dari atas nampan, aroma kelezatannya membuat perut Wulan dan Hadi bergejolak. Setelah mengucapkan terima kasih, Wulan dan Hadi menikmati bubur ayam itu dengan lahap. Sungguh kelezatan yang tiada tara.
Mas Surya berlalu setelah mengantarkan pesanan mereka berdua. Wulan dan Hadi asyik menyantap bubur ayam itu dengan lahap. Diam-diam, di sela-sela makannya, Hadi memperhatikan wajah Wulan. Bukan main senangnya ia hari ini dapat makan berdua bersama Wulan.
"Maaf." Hadi menyeka sudut bibir Wulan dengan tisu. Mata mereka beradu. Terkesan romatis sejenak, tapi tiba-tiba dipatahkan oleh celetukan Hadi, "Kamu makannya belepotan!"
Sontak Wulan mengambil alih tisu itu dari tangan Hadi. "Biarin!" Wulan menjulurkan lidahnya, mengejek.
"Hadi ..., Hadi ..., macam mana pula kamu bisa dapat pacar kalau tingkahmu nggak ada romantis-romantisnya!" sungut Wulan.
"Memangnya yang tadi itu romantis, ya?" tanya Hadi menggoda. Ia puas karena Wulan setidaknya peka dengan apa yang ia lakukan barusan.
"Enggak!" jawab Wulan asal.
"Lah, kok enggak sih?" tanya Hadi kesal. "Halah, kamu malu-malu kucing kan?!" ledeknya lagi.
"Ih, enggak lah, ya. Kamu terlalu monoton, Hadi. Kalau cuma ngelakuin itu, semua orang juga bisa. Wawan juga bisa!" ujar Wulan asal lagi.
"Kok jadi bawa-bawa Wawan? Memangnya kamu pernah diperlakukan kayak gitu sama Wawan?" tanya Hadi seolah menginterogasi.
Wulan menggeleng. "Ah, enggak, aku pernah lihat dia ngelakuin hal yang sama ke Hani. Kayaknya mereka berdua jadian, deh!"
Hadi menahan tawa. Memang benar, Wawan sudah sejak lama naksir Hani, tapi Hadi tidak menaruh yakin kepada isu yang Wulan katakan.
"Nah, Wawan saja sudah jadian, kamu kapan?" tanya Hadi mengalihkan pembicaraan.
"Nanti, kalau aku sudah cantik, aku jadi pacar Kevin!" jawab Wulan antusias.
Hadi tersedak. Wulan dengan sigap menuangkan air minum dari teko untuk Hadi, lalu menyerahkannya.
Ah, sial, Kevin lagi! Hadi menggerutu dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cantik
Teen FictionKamu itu cantik! Nggak perlu muluk-muluk untuk jadi cantik karena cantik nggak cuma soal fisik. Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi Writing Project yang diselenggarakan oleh @RdiamondPublisher #WPRD2TimHipHop #WritingProjectDiamond #RDiamondP...