Ema semakin mengeratkan dekapan tangannya yang melingkar di pinggang Hadi. Gadis berambut hitam bergelombang itu juga menyanggakan kepalanya di bahu Hadi. Hadi tak banyak menanggapi, ia sudah menganggap Ema layaknya saudara sendiri. Hal-hal semacam itu tak keberatan Hadi terima.
Mereka pulang dari sekolah saat langit menjingga. Kabut tipis mulai menyelimuti atmosfer kota. Lampu-lampu gemerlapan memberi terang. Angin malam berdesir pelan.
"Hadi, kamu percaya nggak kalau sahabat bisa jadi ... hm, paham 'kan?" tanya Ema dengan suara agak dikeraskan agar dapat didengar jelas oleh Hadi.
Sore ini, Ema rela menunggu Hadi yang sedang ada jadwal belajar tambahan. Setelah insiden tadi pagi, Ema sengaja ingin pulang bersama sahabat kecilnya itu. Ia ingin menghabiskan sore bersama Hadi meski harus sabar menunggunya keluar kelas. Sementara itu, Hadi yang bermaksud mengantar Wulan pulang tak berkutik dengan permintaan Ema. Sehingga Wulan terpaksa pulang naik ojek karena ponsel ayahnya tidak dapat dihubungi untuk segera menjemputnya.
"Maaf, Wulan." Hanya itu yang keluar dari mulut Hadi lima belas menit yang lalu, di beranda kelas.
Wulan hanya menanggapi dengan senyuman. Ia paham betul Ema masih rindu dengan sahabat kecilnya. Jadi untuk membebaskan Ema dari belenggu rindunya, ia rela pulang naik ojek daripada Hadi menolak permintaan Ema.
"Percaya," jawab Hadi, "karena aku lagi ngerasain hal itu."
Demi mendengar pengakuan Hadi, jantung Ema berdebar kencang. Sedang merasakan? Lalu, bertanya lagi ia kepada Hadi, "Ha? Lagi ngerasain? Maksudnya gimana, nih?"
"Aku lagi suka sama sahabatku sendiri, gitu maksudnya." Hadi menjawab dengan spontan.
Seketika wajah Ema merona. Timbul kepercayaan diri yang tinggi di hatinya. Tidak dapat ia bayangkan jika selama ini Hadi menyimpan rasa. Untuk memastikan apakah orang yang dimaksud adalah dirinya, maka bertanya ia, "Kamu suka aku?"
"Suka!" Jawaban Hadi membuat jantung Ema berdebar lebih kencang. Napasnya jadi tidak beraturan.
"Sejak kapan?" tanya Ema.
"Sejak kita SD mungkin. Kita berteman sejak SD 'kan?"
"Sejak SD?"
"Iya, sejak SD sampai SMA aku masih suka sama kamu. Buktinya persahabatan kita nggak renggang karena rasa benci 'kan? Karena benci itu nggak ada di antara kita."
Jawaban dari Hadi membuat Ema tertegun sejenak. Butuh beberapa detik untuk sadar atas kalimat yang meluncur dari mulut Hadi. Setelah sadar, Ema memukul lengan Hadi. Membuat Hadi meringis kesakitan.
"Bukan 'suka' yang seperti itu yang kumaksud! Ah, Hadi ngeselin! Nggak gitu konsepnya!" Ema mencubit lengan Hadi saking gemasnya.
"Habisnya kamu tanya, aku suka nggak sama kamu, otomatis aku jawab suka, dong! Kalau aku nggak suka, sudah kulempar ke laut kamu kujadiin umpan lumba-lumba."
"Ih, Hadi kalau ngomong nggak difilter dulu! Jahat banget ngomongnya." Ema cemberut. "Ya sudah, aku ganti pertanyaan ... kamu suka sama siapa? Suka dalam artian cinta, Hadi. Bukan 'suka' yang lainnya!"
"Kepo!"
"Tuh, kan, mulai ngeselin lagi! Mau aku cubit sampai kempes ototmu?"
"Dih, serem."
"Makanya kasih tahu!" paksa Ema.
Hadi tidak langsung menjawab, sedangkan Ema was-was menanti jawaban dari Hadi. Takut jika jawabannya mengecewakan-tak sesuai ekspektasinya. Hening di antara mereka hingga Hadi berhenti di depan lampu merah.
"Aku suka Wulan," ungkap Hadi tiba-tiba, "suka dalam artian cinta, ya, bukan 'suka' yang lainnya."
Ema tak banyak bicara setelah mendengar jawaban itu. Ia melepas pelukannya dari pinggang Hadi. Kepalanya beranjak dari bahu pria itu.
🌙🌙🌙
"Terima kasih!" Ema turun dari vespa Hadi, lalu meninggalkan pria itu begitu saja.
"Aneh, bukannya ditawari masuk dulu malah pergi gitu aja." Hadi menggerutu pelan. Ia menyalakan mesin vespanya, lantas tancap gas meninggalkan rumah Ema.
Diam-diam Ema mengintip dari balik jendela rumahnya dengan air mata yang telah menitik di pipi. Setelah bayang Hadi menghilang dari penglihatannya, ia berlari menuju kamar. Ema membanting pintu kamar dengan keras. Ia lempar tasnya ke sembarang arah, kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ia tenggelamkan mukanya dengan bantal. Ema terisak tanpa suara. Ada rasa perih yang menjalari hatinya. Ia tidak mengerti perasaan apa itu, tapi begitu sakit dan aneh. Apakah ini cinta? Apakah rasa nyamanku telah berkembang menjadi rasa yang lebih serius? Ema berteriak untuk menguras emosi pada dirinya. Setelah puas menangis, ia menyandarkan punggungnya di bedframe. Menit-menit berlalu begitu saja. Waktunya hanya habis untuk menenggelamkan diri dalam lamunan.
"Sayang, sudah pulang?" Suara lembut itu memecah hening di kamar Ema. Memudarkan keruh dipikirkannya.
"Sudah, Mi!" teriak Ema. Suaranya terdengar parau. Ia masih menyandarkan diri di beddframe tanpa ada niatan untuk membuka pintu dan menemui wanita yang telah melahirkannya itu.
"Cepat mandi ya, sayang! Kita makan malam bersama, mami tunggu di ruang makan." Suara itu masih terdengar dari luar.
"Iya, Mi!"
Ema tidak langsung beranjak ke kamar mandi. Ia semakin malas turun dari ranjang. Ema malah meraih kalender yang berdiri di atas nakas. Mengamati kalender itu, membuatnya teringat pada Wulan dan rencana kompetisi fashion show yang akan dilaksanakan semester ini.
"Wulan, aku akan membuatmu cantik. Cantik sekali! Aku janjikan anganmu menggapai Kevin dapat terpenuhi dan Hadi bisa beralih dari perasaannya," monolog Ema dengan nada kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cantik
Teen FictionKamu itu cantik! Nggak perlu muluk-muluk untuk jadi cantik karena cantik nggak cuma soal fisik. Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi Writing Project yang diselenggarakan oleh @RdiamondPublisher #WPRD2TimHipHop #WritingProjectDiamond #RDiamondP...