Maaf

109 102 54
                                    

"Kamu nggak salah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu nggak salah."

"Aku salah. Aku penyebab semua permasalah ini. Hukum aku Hadi!"

Hadi melepaskan pelukan Wulan. "Kamu ingin aku menghukummu?" tanya Hadi serius.

"Kupikir, aku harus mendapatkannya."

"Baiklah, aku akan memberimu hukuman jika kamu benar-benar merasa bersalah atas semua kejadian ini."

"Katakan Hadi! Katakan! Aku rela mengerjakan PR fisika-mu sebulan penuh. Atau membuatkan nasi goreng spesial untukmu setiap hari sebagai hukuman, atau-"

"Aku tidak ingin semua itu."

"Lalu?"

"Hukumanmu adalah ... tidak boleh mencintai pria berengsek itu lagi."

"Kenapa, Hadi? Kenapa tidak boleh?"

"Manusia berhati iblis tidak pantas mendapatkan cinta yang tulus," geram Hadi. Ia mengepalkan tangannya.

Wulan menggenggam tangan Hadi. Seolah memohon, ia berkata, "Maaf Hadi, aku tidak bisa. Berikan aku hukuman yang lainnya!"

Tolakkan Wulan membuat Hadi terdiam. Menurutnya tak ada hukuman yang pantas ia berikan kepada Wulan selain itu. Hadi tersenyum tipis ke arah Wulan. Menggeleng. Dia tak perlu berkata banyak. Wulan telah menggores luka itu lebih dalam lagi.

"Jadi kamu sudah pergi ke warung Mbok Narsih tadi?" tanya Hadi sembari membereskan tasnya. Ekstrakurikuler taekwondo baru saja berakhir. Kini Hadi dan Wulan bersiap untuk pulang.

"Sudah, sudah cuci piring juga."

Hadi tertawa. Ia mengacak rambut Wulan. "Cucu berbakti."

Mereka berdua tertawa. Lantas pergi meninggalkan lapangan itu. Hadi dan Wulan berjalan keluar sekolah menuju warung Mbok Narsih untuk mengambil vespanya.

"Sejak tadi aku mencarimu. Ketika melewati warung Mbok Narsih aku melihat vespamu. Kupikir kamu ada di sana. Ternyata cuma vespanya, raganya di lapangan taekwondo-"

"Jiwanya di hatimu, hahaha ...."

"Ah, Hadi, ngaco!" Wulan mencubit lengan Hadi.

"Aw!" Hadi menyeringai kesakitan.

"Aduh, maaf." Wulan mengusap lengan Hadi yang barusan ia cubit.

"Sudah nggak apa-apa kok, aku cuma bercanda. Cubitanmu nggak sakit, hahaha."

"Tapi tadi aku benar-benar khawatir, takut kamu kenapa-kenapa. Syukurlah, seorang pengurus OSIS segera melaporkan kejadian itu kepada Pak Gusdi," ucap Wulan terus terang.

Hadi hanya diam tak ingin membahas hal itu lagi.

"Hadi, seharusnya kamu tidak melawan," kata Wulan sama persis seperti yang Alji katakan tadi.

"Kenapa?"

"Aku takut, Hadi."

"Seberapa takut?" tanya Hadi antusias mendapati Wulan mengkhawatirkan dirinya.

"Takut sekali ...." Wulan menghentikan kalimatnya. "Aku tak ingin kamu menyakiti orang lain," lanjut Wulan.

"Rasa takutmu tidak lucu, Wulan. Kamu hanya mengkhawatirkan Kevin bukan mengkhawatirkanku," ucap Hadi menatap manik mata Wulan.

"Bukan begitu maksudku!" sergah Wulan. Ia mencoba meyakinkan Hadi.

"Wulan, aku tahu kamu mencintai Kevin. Cintamu padanya bahkan lebih besar daripada cintamu kepada dirimu sendiri. Kita sudah lama berteman. Kamu tidak bisa membohongiku. Matamu jelas membuktikan banyak hal. Wulan, aku tidak ingin melarangmu untuk yang kedua kalinya. Sekarang kamu bebas. Lakukan apa pun yang kau suka. Ikuti kemana perasaan itu membawamu berlabuh. Aku tidak akan ikut campur. Tapi jika kamu membutuhkan batuanku, aku siap. Jangan sungkan aku selalu ada untukmu. Jangan memikirkanku. Berhagialah."

"Hadii...."

"Ssttt ...." Hadi meletakkan telunjuknya di bibir Wulan hingga gadis itu bungkam. "Aku tak ingin membahasnya terlalu jauh. Aku malas membahas lelaki songong itu. Sebaiknya kita bergegas pulang. Lihatlah, langit tampak mendung. Kita harus tiba di rumah sebelum basah kuyup."

Wulan tak menjawab. Mereka mempercepat langkah menuju warung Mbok Narsih.

🌙🌙🌙

Sebelum matahari benar-benar tenggelam, Hadi sudah tiba di rumah setelah mengantar Wulan pulang. Esok ia harus bangun lebih awal untuk menjemput Wulan. Sepeda gadis itu masih berada di bengkel. Dan, butuh waktu tiga hari untuk memperbaiki sepeda yang sudah berumur empat tahun itu. Jadi, selama sepeda Wulan di bengkel ia akan berangkat dan pulang sekolah bersama Hadi.

Kedatangan Hadi membuat Mama Rosa yang tengah bersantai- membaca majalah wanita di ruang keluarga-terkejut. Pasalnya anak semata wayangnya itu pulang dengan wajah lebam dan babak belur. Kedatangan Hadi sontak disambut sejuta pertanyaan dari Mama Rosa.

"Sudahlah, Ma, Hadi nggak apa-apa kok. Cuma luka ringan. Tinggal dikompres nanti juga sembuh. Jangan berlebihan deh, Ma." Hadi merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Mama Rosa duduk di samping Hadi. "Berlebihan? Mama itu khawatir, Hadi." Mama Rosa menjewer telinga Hadi dengan geram. "Bisa-bisanya kamu babak belur kayak gini. Kamu berantem sama siapa?"

"Aduh, Ma, sakit. Jangan dijewer dong. Hadi bukan anak kecil." Hadi mencoba melepaskan cengkeraman jari tangan Mama Rosa.

"Rin, Rina ...! Bawakan air hangat dan saputangan!" teriak Mama Rosa yang tak lama kemudian disusul kemunculan Mbak Rani yang tergopoh-gopoh membawakan air hangat dan saputangan.

"Ya Gusti, Mas Hadi, itu mukanya kenapa kok sampai bonyok begitu?!" tanya Mbak Rani histeris.

"Biasalah, Mbak, adu mekanik. Anak lelaki 'kan memang begini," jawab Hadi enteng.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang