Emline Madison

50 50 47
                                    

Ema menatap takjub langit malam yang dipenuhi bintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ema menatap takjub langit malam yang dipenuhi bintang. Bintang-bintang itu berserakan bak hamparan pasir kelap-kelip. Bulan setengah lingkaran bersembunyi di balik rimbunnya awan, mempercantik pemandangan langit malam ini.

Kunang-kunang beterbangan ke sana kemari memancarkan cahaya yang membawa kehangatan di hati
Ema. Udara malam terasa dingin. Hawa dingin bekas hujan tiga puluh menit sore ini masih berbekas. Rumput manila tempat Ema merebahkan diri terasa lembab. Ada sisa tetes embun di sana. Ema mengembangkan senyum sempurna. Bahagia sekali ia bisa menginjakkan kaki di tanah air yang ia cintai.

"Kupikir aku terlalu buru-buru datang kemari. Ini bukan saat yang tepat," ucap Ema kepada Hadi yang juga merebahkan diri bersampingan dengannya.

Hadi menoleh heran. "Kenapa begitu?" tanya Hadi.

"Ya ..., karena tidak sepatutnya aku merepotkan Om Arya. Mendaftarkan siswa baru di penghujung semester itu sangat sulit bukan? Aku pasti merepotkan papa-mu," jawab Ema tanpa menoleh ia masih terkesima menatap pesona langit malam ini.

"Ah, itu tidak masalah. Toh, semua urusan sudah selesai sekarang dan kau bisa langsung sekolah besok," tutur Hadi semangat.

"Kau benar, Hadi. Tapi aku masih merasa letih untuk bersekolah esok hari."

"Hahaha, baiklah aku tidak akan memaksa. Jika kau sudah siap sekolah, kita akan berangkat bersama. Sekarang istirahatkan saja dulu tubuhmu. Tapi saranku, jangan terlampau lama pula kau mengistirahatkan diri karena ujian semester akan segera dimulai. Dan kau harus menyusul ketertinggalan materi untuk tambahan nilai ujian semestermu. Kau benar, memang agak sulit menjadi siswa baru di penghujung semester, tapi jangan khawatir, aku memiliki teman yang pintar dan akan membantu belajar nanti," papar Hadi.

"Kenapa harus temanmu? Kenapa bukan kau saja yang membantuku?" tanya Ema, kini ia menoleh ke arah Hadi, membuat keduanya beradu pandang.

"Aku? Apakah aku yang harus membantumu?" Hadi tak percaya. "Kau tahu aku ini sangat bebal. Dulu waktu sekolah dasar aku sering meminta jawaban ujian kepadamu bahkan sampai dihukum bu guru. Dan sekarang kau bertanya kenapa bukan aku saja yang membantumu? Bukankah kenangan itu sudah cukup jelas?"

Tawa mereka pecah. Sejenak mereka ekspresikan kegelian dalam diri mereka. Ingatan keduanya kembali kepada masa-masa saat masih bersama.

Hening sekejap, hanya suara jangkrik yang mendominasi suasana hening di antara keduanya. Ingatan mereka mengembara liar pada kenangan yang sudah terpendam lama sekali. Sesekali mereka terkekeh sendiri mengingat sejengkal demi sejengkal masa lalu yang penuh keluguan itu. Kenangan itu seolah menyeruak bebas di kepala mereka. Membentur setiap ruang memori ingatan.

"Dulu kau serakah betul ya," ungkap Hadi memecah hening suasana. "Setiap pulang sekolah kau selalu mengajakku membeli es krim dengan rasa yang berbeda. Dan kau selalu menghabiskan es krim-mu terlebih dahulu tanpa menawariku. Selepas es krim-mu lenyap kau segera merebut es krim-ku dan membawanya lari menjauhiku."

Ema tertawa keras ketika Hadi mengingatkan peristiwa itu kepadanya. Sungguh itu adalah kejahatan paling lugu yang pernah gadis itu perbuat. Ema bergidik geli ketika ia membayangkan masa-masa kenakalannya.

"Kau masih ingat tidak? Dulu kau sempat menangis saat aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu. Padahal hari itu aku sedang sakit. Tapi kau tega merajukiku selama tiga hari. Bahkan kau tidak mau membagi PR-mu kepadaku sampai aku dihukum bu guru berdiri di depan kelas sambil menjewer kuping sendiri. Sungguh tega kau, Ema!"

Ema tertawa. "Itu sih salahmu sendiri, Di!" sanggah Ema, "andai kau beri tahu aku kalau kau sedang sakit pasti aku akan memakluminya."

"Dan lebih parahnya lagi, kau tega tak memberiku tumpangan saat mama belum jemput aku ke sekolah. Kau meninggalkanku sendirian saat hujan turun dengan deras," tutur Hadi dengan perasaan jengkel. Ternyata emosi kenangan itu begitu Hadi rasakan sampai sekarang.

Ema tertawa. "Ah, kalau itu aku minta maaf. Aku sangat keterlaluan kala itu. Maklumlah anak-anak."

"Alah, kau ini memang tidak pernah mau disalahkan!"

Ema tertawa.

Mereka kembali khidmat menikmati nuansa langit malam yang indah. Terlena dalam pikiran masing-masing. Semua terasa kembali utuh. Dua sahabat yang telah lama berpisah kini dipertemukan kembali di waktu yang tak terduga.

Hadi senang Ema berada di sampingnya. Ema juga merasakan hal yang sama, terlebih setelah kebahagiaan pertamanya hancur.

Gadis berkulit hitam manis itu bernama Emline Madison. Dia adalah model muda terkenal asal Indonesia yang berkarir sejak usia lima belas tahun di Australia. Emline hanya sebuah nama panggilan yang sering diucapkan oleh mami-nya. Dalam kehidupan sehari-hari, dia kerap di sapa Ema ketimbang Emline.

Ema adalah akronim dari Emline Madison. Orang pertama yang memanggilnya dengan sebutan "Ema" adalah papi. Dan ternyata panggilan itu lebih cocok didengar olehnya yang memang asli berdarah Indonesia.

Ema terlahir dari pasangan Erikado Madison dan Miranda Elva. Sang papi asli orang Ambon sedangkan mami-nya blasteran Batak dan Sunda. Kecantikan Ema khas sekali seperti orang timur Indonesia. Kulitnya kecokelatan bersih bak sawo matang. Rambutnya hitam dan bergelombang. Manik matanya hitam, indah menawan. Bibirnya semu merah. Ia bertubuh tinggi seperti papi-nya. Jika disandingkan dengan Hadi, tinggi Emline hanya selisih beberapa senti saja.

Sejak lulus dari sekolah dasar, Ema pindah ke negeri kangguru bersama kedua orang tuanya. Semua itu berawal ketika Erik-orang tua laki-laki Ema-mendapat panggilan kerja di salah satu perusahaan tambang di Canberra. Kebetulan kala itu Mira-mami-nya Ema-memiliki teman dekat yang tinggal di Australia, Naura namanya.

Dulu, Naura dan Mira adalah teman satu fakultas. Selama di Canberra, mereka sama-sama menerjunkan diri ke dunia fashion, tidak hanya sebagai model tapi juga sebagai desainer yang bekerja sama mengelola sebuah butik.

Dua setengah tahun menjalankan butik itu, butik mereka terkenal hingga dikunjungi oleh turis dan masyarakat setempat yang tertarik dengan busana khas Indonesia yang menjadi konsep butik mereka. Tidak hanya menarik tapi juga terkesan berbeda dari butik-butik pada umumnya.

Sebagai putri semata wayang mami-nya, Ema juga terkena imbas dari keberhasilan beliau. Ema turut terjun ke dunia fashion dan menjadi model sejak usia dini. Karirnya kian melambung dan cemerlang.

Di sela-sela aktivitas sekolahnya, Ema turut berpartisipasi dalam berbagai event di dunia permodelan. Kecantikannya yang khas menjadi daya tarik tersendiri bagi para klien untuk merekrut dirinya sebagai brand ambassador muda. Ema telah meraup banyak keuntungan dari karirnya, tapi apa yang ia dapatkan selama ini tak membuahkan kebahagiaan di hatinya.

 Ema telah meraup banyak keuntungan dari karirnya, tapi apa yang ia dapatkan selama ini tak membuahkan kebahagiaan di hatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang