"Ma, Mama ...! Dasiku mana, Ma?" teriak Hadi dari dalam kamar. Pria itu tengah mematut diri di depan cermin.
Mendengar teriakan Hadi, Mama Rosa tegopoh-gopoh menghampiri anak bujangnya itu. "Ada apa sih, Di?"
"Dasi, Ma, Dasi Hadi mana?" tanya Hadi, "terus ini kaus kaki yang sebelah kiri kemana?"
"Ya ampun, Hadi! Kamu ini masih saja kayak anak kecil. Apa-apa harus disiapin. Kamu sudah gede loh, Nak. Masa naruh dasi sama kaus kaki saja bisa lupa," omel Mama Rosa.
"Aduh, Mama, stop ngomelnya! Hadi keburu telat nih," ucap Hadi seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Memangnya kaus kaki sama dasimu cuma satu?" tanya Mama Rosa yang mulai emosi. Wanita itu telah mengobrak-abrik isi lemari Hadi namun yang dicari tak kunjung ketemu.
"Kaus kaki sih banyak, Ma. Tapi pada bolong-bolong. Masa orang ganteng kaus kakinya bolong kan nggak lucu."
"Duh, gustiii ...! Hadi, kamu itu anak seorang pengusaha sukses masa nggak mampu beli kaus kaki baru sih?! Terus uang yang mama kasih selama ini kamu kemanain, Sayang?" geram Mama Rosa.
Hadi hanya nyengir di pojokan sembari memasukkan buku-buku pelajarannya ke dalam tas sesuai jadwal pelajaran hari ini.
"Rani ... Rani...!" teriak Mama Rosa yang disusul kemunculan seorang wanita berusia dua puluh lima tahunan dari balik pintu kamar Hadi.
"Iya, Nyonya, ada apa?" tanya Mbak Rani yang masih berdiri di luar kamar.
"Sini masuk! Bantuin si Hadi nyari dasi sama kaus kakinya, ini hilang sebelah," perintah Mama Rosa.
"Oh, dasi sama kaus kaki Mas Hadi kemarin Rani cuci, Nya. Kaus kakinya cuma Rani cuci sebelah karena yang sebelah lagi nggak ketemu," ungkap Mbak Rani.
"Ya ampun, Mbak, kenapa nggak bilang dari tadi. Hadi bisa telat nih," marah Hadi.
"Iya, Mas, maaf Rani lupa." Mbak Rani menahan tawa ketika netranya mendapati kaki Hadi yang hanya mengenakan sebelah kaus kaki.
"Cepat ambil dan bawa kemari!" suruh Mama Rosa.
Mbak Rani berlalu meninggalkan Hadi dan Mama Rosa. Tak lama kemudian wanita yang bekerja sebagai asisten rumah tangga itu membawa seutas dasi dan sebelah kaus kaki milik Hadi. "Ini Mas Hadi." Mbak Rani menyerahkannya kepada Hadi.
"Terima kasih, Mbak." Buru-buru Hadi memakai kaus kaki dan memasang dasi.
"Hadi, sarapan dulu loh," ujar Mama Rosa yang sibuk membereskan kembali lemari Hadi.
"Duh, nanti saja deh, Ma. Hadi sarapan di sekolah saja. Sudah telat nih!" Hadi melirik lagi arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Bye, Ma!" Hadi mengecup pipi Mama Rosa lantas mengibrit keluar kamar.
"Hei, Hadi ..., tunggu!" teriak Mama Rosa lalu segera menyusul anak semata wayangnya itu.
Hadi buru-buru mengeluarkan vespanya dari bagasi. Mama Rosa muncul dari dalam rumah ketika Hadi menyalakan mesin vespanya.
"Hadi, hari ini Mama cuti. Kamu jangan terlambat pulang ya, Darling. Kalau jam sekolah sudah selesai langsung pulang, oke!" ucap Mama Rosa.
Hadi hanya mengacungkan jempolnya tanda setuju. Sesaat kemudian pria itu tancap gas meluncur ke jalanan. Tak lupa melambaikan tangan ke arah Mama Rosa sebelum pergi.
🌙🌙🌙
Hadi memacu laju vespanya menuju rumah Wulan. Sayangnya, ketika sampai di sana, Bunda Fahra-orang tua perempuan Wulan-mengatakan bahwa Wulan sudah berangkat tiga puluh menit yang lalu. Sontak Hadi bergegas menyusul Wulan yang entah sudah sampai mana.
Menurut informasi dari Bunda Fahra, putri bungsunya itu naik angkot ke sekolah. Hadi memacu laju vespanya hingga sampailah ia di jalan raya dan terjebak macet di sana. Sebenarnya ia lebih mudah merangsek-menerobos di antara puluhan kendaraan-namun itu tidak ia lakukan karena boleh jadi ia menemukan Wulan di antara banyak angkot yang terjebak macet di jalan ini.
Di tengah polusi suara-klakson kendaraan yang tak henti dibunyikan-Hadi menyapu pandangannya ke setiap arah. Perlahan-lahan ia kendarai vespa itu. Matanya tak lepas memandang ke setiap jendela angkot-memastikan keberadaan Wulan. Asap dari knalpot kendaraan membumbung tinggi di udara, membuat sesak yang menghirupnya.
Hadi melirik sekilas ke arah arlojinya setelah tidak menemukan keberadaan Wulan. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.20 menandakan sepuluh menit lagi upacara bendera akan dimulai. Tak ada pilihan lain, Hadi tancap gas-nekat menerobos jalan yang sesak kendaraan itu. Pria itu berharap cemas, semoga Wulan sudah tiba di sekolah.
Sayangnya waktu sepuluh menit itu tidak cukup untuk menempuh jarak ke sekolah yang cukup jauh. Ketika sampai di sekolah, gerbang sekolah sudah ditutup.
Berdasarkan peraturan sekolah, siswa yang terlambat hanya boleh masuk ketika upacara bendera telah selesai dilaksanakan. Bahkan setelah berkali-kali Hadi bernegosiasi dengan Pak Bruto-satpam sekolah-ia tidak diizinkan masuk.
"Ayolah, Pak, kali ini saja. Kalau bapak bukakan gerbang, selepas upacara saya antar kopi dan goreng pisang dari kantin Bude Tatik," ujar Hadi setengah berbisik.
"Tidak bisa!" tolak pria berkumis tebal itu dengan tegas, "peraturan tidak boleh dilanggar."
"Ah, bapak nggak asik!" Merasa gagal, Hadi berlalu bersama vespanya.
Ia berhenti di sebuah warung bubur ayam yang terletak tak jauh dari sekolah. Hadi turun dari vespanya, lantas masuk ke dalam warung tersebut. Sepagi ini warung itu sudah cukup ramai oleh pelanggan yang sedang sarapan. Dengan santai Hadi melangkahkan kakinya menuju dapur warung itu.
"Mbok," panggil Hadi kepada seorang wanita baya yang tengah sibuk menyiapkan beberapa mangkuk bubur ayam.
"Eh, Nak Hadi. Mau apa? Sarapan? Sebentar ya, Mbok mau siapin untuk pelanggan yang di depan dulu." Wanita itu masih fokus dengan mangkuk bubur ayamnya.
Beliau adalah Mbok Narsih, pemilik warung bubur ayam ini. Diusia senjanya beliau masih menjalankan usaha bubur ayam peninggalan mendiang suaminya. Warung inilah yang menjadi sumber penghidupan. Biasanya Mbok Narsih dibantu Mas Surya-cucunya-untuk mengelola warung yang tak pernah sunyi pembeli ini. Namun, pagi ini Mas Surya tak menampakkan batang hidungnya.
"Mbok, Hadi nanti siang saja sarapannya."
"Kalau siang bukan sarapan namanya tapi makan siang." Wanita itu tersenyum sembari menggelengkan kepala.
"Hehe, iya sih, Mbok. Tapi untuk sekarang, Hadi nggak sempat sarapan. Nanti siang Hadi balik lagi ke sini bareng bidadari, janji!"
"Wah, siapa tuh? Nak Wulan ya?" tanya Mbok Narsih.
"Iya, Mbok."
"Ya sudah, Mbok tunggu ya. Jangan bohongin mbok," harap Mbok Narsih dengan mata berbinar. "Mbok lagi butuh tenaga untuk bantuin cuci piring," lanjutnya setengah berbisik.
Hadi terkekeh. "Oh iya, Mbok, Mas Surya nggak ada di sini tampaknya, kemana dia? Cuci piring kan tugasnya Mas Surya."
"Dia masuk angin gara-gara begadang dua hari berturut-turut nonton pertandingan bola di pos ronda," jelas Mbok Narsih.
Hadi tertawa kecil mendengar penjelasan Mbok Narsih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cantik
Teen FictionKamu itu cantik! Nggak perlu muluk-muluk untuk jadi cantik karena cantik nggak cuma soal fisik. Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi Writing Project yang diselenggarakan oleh @RdiamondPublisher #WPRD2TimHipHop #WritingProjectDiamond #RDiamondP...