Artis?

40 39 14
                                    

Sore ini ditemani Hadi, Ema menyusuri rak demi rak di toko buku yang mereka singgahi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sore ini ditemani Hadi, Ema menyusuri rak demi rak di toko buku yang mereka singgahi. Beberapa alat tulis dan buku-buku pelajaran sudah masuk keranjang. Kini mereka merapat di rak-rak buku fiksi. Tampak Ema komat-kamit membaca deskripsi di sampul belakang buku yang ia minati. Hadi pun demikian, ia turut sibuk mengeja kata demi kata yang tertulis di sampul belakang sebuah buku berjudul Buku Juga Bisa Jatuh Cinta. Buku itu agaknya sudah tidak asing lagi bagi Hadi karena setiap harinya ia dapati buku bersampul hitam itu tergeletak di sudut meja Wulan.

Pantas saja Wulan tak jemu membaca buku ini, tampaknya buku ini menarik!

"Hadi, ayo, aku sudah selesai!" ajak Ema seraya menarik lengan Hadi.

"Oh, ayo." Hadi segera mengikuti langkah Ema yang berjalan menuju meja kasir.

Tiba di meja kasir, mereka disambut ramah oleh sang kasir. Ema lantas menyerahkan barang belanjaannya, tak luput buku berjudul Buku Juga Bisa Jatuh cinta yang Hadi minati ia serahkan juga untuk dihitung. Sang kasir dengan cekatan menghitung total belanjaan Ema.

"Semuanya jadi empat ratus ribu ya, Mbak," kata kasir itu diselingi senyum.

Ema menyerahkan empat lembar uang ratusan kepada sang kasir. Mereka beranjak setelah membayar. Keluar dari toko buku, tampak langit sore masih benderang. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Ema, menerbangkan anak rambut. Angin sore mengembuskan aroma bakso bakar dan mie goreng yang dijual di pinggir jalan. Seketika Ema merasa lapar. Sejak tadi, perutnya berbunyi minta diisi.

"Makan dulu, yuk!" ajak Ema pada Hadi.

"Boleh, aku punya tempat yang pas buat makan."

🌙🌙🌙

Warung bubur ayam Mbok Narsih menjadi menjadi pilihan Hadi sore ini. Entah Ema akan suka atau tidak, yang pasti tujuan Hadi kemari adalah untuk mengenalkan cita rasa khas bubur ayam Mbok Narsih sekaligus memperkenalkan Ema kepada beliau. Ketika mereka sampai, halaman warung sudah penuh sesak oleh kendaraan pembeli yang parkir di sana. Hadi mencari celah agar vespanya dapat tersisip di antara banyaknya kendaraan. Melangkah masuk, meja di dalam sudah dipenuhi pembeli. Akhirnya, mereka memutuskan untuk duduk di meja teras warung. Beberapa pembeli juga memilih berada di luar karena meski sudah diberi fasilitas berupa kipas angin, hawa di dalam ruangan itu tetap terasa sumpek. Hadi sendiri ingin menikmati suasana jalanan di sore hari sembari menikmati bubur ayamnya nanti.

Setelah memesan, Ema dan Hadi duduk satu meja. Mereka saling berhadapan. Jenuh menunggu pesanannya, Hadi meraih kantung plastik berisi buku yang ia dapat dari toko buku tadi. Perlahan ia buka plastik pembungkus buku tersebut, lalu ia cium sejenak aroma buku itu. Hadi membuka lembar demi lembar dengan hati-hati, lantas khusyuk dengan bacaannya.

"Sering ke sini?" tanya Ema memecah sunyi di antara mereka.

"Sering." Hadi menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

Ema hanya menganggut-anggut. Setelah jawaban tadi, hening sejenak di antara mereka. Ema mengalihkan perhatiannya ke segala penjuru. Menatap bangunan warung secara detail, menghitung berapa banyak mobil berwarna kuning yang melaju di jalanan, dan beberapa kali mendongak mengamati awan putih yang lambat laun berubah jingga. Ema melirik sekilas ke arah Hadi. Tampak sahabat kecilnya itu tengah mesem-mesem sendiri membaca buku bersampul hitam itu.

"Hadiiii!" seru Ema geram. Ia merenggut paksa buku itu dari tangan Hadi.

"Eh ... eh ..., jangan diambil dong!" Hadi berdecak kesal. "Lagi asyik baca tahu!"

Ema menggerutu, "Hadi jangan cuekin aku, dong! Nggak asyik tahu, masa aku disuruh ngobrol sama angin!"

"Idih, siapa juga yang nyuruh kmu ngobrol sama angin?"

"Kamu!" sinis Ema, "jangan sibuk sendiri, dong."

Hadi membuang napas kasar. "Iya, iya!"

Bersamaan dengan itu Mbok Narsih datang membawa pesanan Hadi dan Ema.

"Loh, ada nona cantik, toh? Siapa ini, Di? Pacar barukah?" tanya Mbok Narsih menggoda.

Pacar baru? Dalam benak Ema penuh tanya. Memangnya Hadi pernah pacaran sebelumnya?

"Ah, bukan pacar Hadi, Mbok. Ini Ema, teman Hadi waktu kecil. Dia pindahan dari luar negeri," jelas Hadi, "ini artis loh, Mbok." Hadi berucap setengah berbisik.

Ema dengan sopan mencium punggung tangan Mbok Narsih ketika mendapat kode dari Hadi. Sembari menyalami Mbok Narsih, Ema berkata, "Ah, enggak, Mbok, Ema bukan artis. Hadi kan emang ngaco anaknya kalau ngomong suka ngawur." Ema tersenyum bersahabat.

Hadi berbisik, seolah sudah terjadi persekongkolan antara dirinya dan Mbok Narsih. "Jangan percaya, Mbok! Dia itu artis beneran, lihat saja, nih." Hadi mengarahkan layar ponselnya. Di layar ponsel itu terpampang foto Ema yang tengah dikerumuni wartawan. Hadi juga memperlihatkan beberapa foto elegan Ema.

"Nak Ema benaran artis?" tanya Mbok Narsih menelan ludah.

Malu-malu Ema mengangguk. "Iya, Mbok, tapi dulu."

"Ya gusti!" pekik Mbok Narsih tercengang. "Hadi, tolong fotokan Mbok Narsih sama Nak Ema. Nanti fotonya mau Mbok buat baliho, biar banyak pembeli yang makan ke sini. Duh, seumur-umur baru kali ini warung kami didatangi artis."

Hadi terkekeh. Ema lebih terkejut mendengar permintaan Mbok Narsih. Namun, gadis baik hati itu menuruti permintaan Mbok Narsih. Hadi sigap mengarahkan kamera ponselnya ke Mbok Narsih dan Ema yang tengah berpose. Beberapa foto berhasil diambil. Setelah memperlihatkan hasil fotonya kepada Mbok Narsih, beliau malah menggratiskan dua porsi bubur ayam yang Ema dan Hadi pesan. Sebuah keberuntungan bagi Hadi, tapi ini menjadi melelahkan bagi Ema, pasalnya beberapa pembeli sempat mendengar kata "artis" keluar dari mulut Mbok Narsih. Maka berbondong-bondonglah mereka minta difotokan bersama Ema. Ema tidak menolak walaupun itu melelahkan baginya. Ema ingin dianggap biasa saja. Akan tetapi kariernya di masa lalu masih membawa dampak yang besar bagi eksistensinya.

Setelah meladeni para fans-nya, Ema merebahkan diri di punggung kursi. Berkali-kali ia mengatur napasnya. Menetralkan semua. Setelah merasa lebih tenang, Hadi menyuruhnya untuk segera menghabiskan bubur ayamnya.

"Cepat dimakan, keburu dingin nanti nggak enak," saran Hadi.

Ema mengangguk. Lekas-lekas ia habiskan makanannya. Hadi hanya menggeleng pelan seraya tersenyum.

 Hadi hanya menggeleng pelan seraya tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang