Nyaman yang Paling Serius

24 26 32
                                    


Kegagalan pada kompetisi fashion show cukup membuat Wulan kecewa. Ekspektasinya menggusur Susi dari predikat miss of fashion show gagal ia lakukan. Kecurangan yang telah dilakukan seseorang untuk menghasut juri serta menutup kemungkinan kemenangan itu dipeluk olehnya telah membekaskan rasa kesal di hatinya. Usahanya, usaha kedua sahabatnya, sia-sia saja. Wulan tak mendapat apa-apa dari panggung yang telah membuat semua orang bersorak dan bertepuk tangan untuknya. Bahkan sejak insiden alergi yang Ema alami, Wulan belum sempat menjenguk sahabatnya itu. Hari-harinya tampak suram dari pada biasanya. Seolah dibunuh ekspektasi, Wulan terlarut dalam rasa kecewanya selama berhari-hari. Namun, bukan itu yang menjadi kekecewaan terbesar baginya. Satu hari setelah pemerolehan kegagalan itu, Kevin jadi jarang menghubungi Wulan. Wulan tak pernah menemukannya setiap ia mencoba untuk bertemu. Wulan kerap kali mendatangi kelas XI IPS 3 sekadar untuk mengajaknya makan siang bersama di kantin, tapi ia tidak pernah mendapati Kevin di sana. Setiap hari Minggu ia acap kali mendatangi rumah Kevin, tapi yang ia dapat hanyalah informasi bahwa Kevin tidak berada di rumah.

Lambat laun rasa kecewa di hati Wulan menumpuk bagai gunung yang siap meledak setiap saat. Terlampau banyak persoalan yang membuatnya sesak. Kevin hilang tanpa kabar, Hadi perlahan menjauh, Ema jatuh sakit. Persoalan-persoalan itu memenuhi ruang hampa dalam pikiran Wulan.

"Kevin, kamu dimana? Aku kangen! Aku butuh kamu." Wulan menatap kosong ke luar jendela kamarnya.

Di luar, mendung tipis menutupi langit biru. Desir angin membawa onggokan awan hitam. Langit belum mendung total. Wulan segera keluar dari kamarnya. Keluar dan menemui Kevin menjadi keputusan terbaik saat ini karena hanya pria itulah yang dapat membantu Wulan meringankan beban kecewa di dadanya. Wulan menuju garasi, tanpa pamit ia segera pergi mengendarai sepedanya menuju rumah Kevin. Desir angin kian kencang ia rasakan. Awan semakin menutup celah-celah langit biru. Gemuruh suara guntur mulai terdengar. Wulan mempercepat laju sepedanya. Ia ingin segera tiba di rumah Kevin dan mendapati pria itu ada di rumah agar dapat Wulan memeluknya. Sayang, sungguh gadis malang, Wulan kembali dibunuh oleh ekspektasinya. Hasrat ingin memeluk raga Kevin, tapi raga pria itu telah dipeluk terlebih dahulu oleh seorang wanita yang asing di mata Wulan. Wulan tak tahan, ia pergi tanpa penjelasan. Kejadian itu telah menerangkan secara jelas bahwa ... Kevin bukan pria baik untuknya. Wulan tak lagi membutuhkan penjelasan muluk-muluk dari mulut Kevin. Tidak penting nama gadis yang baru saja memeluk Kevin. Tidak peduli motif dan hubungan apa yang tengah keduanya jalin. Kini yang terpenting adalah perasaannya butuh tempat untuk pulang.

Gerimis turun perlahan saat Wulan dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Sebuah keberuntungan karena jalan menuju rumahnya melewati warung Mbok Narsih. Tampak warung itu tak seramai biasanya. Wulan kemudian mampir untuk sekadar berteduh dan menetralkan perasaannya yang membuncah.

"Loh, Nak Wulan sama siapa ke sini? Nak Hadi mana?" tanya Mbok Narsih ketika langkah Wulan menginjak ruang dalam warung itu.

"Wulan ke sini sendiri, Mbok, nggak sama Hadi." Wulan bertutur seraya menyalami Mbok Narsih.

"Oh, sendiri." Mbok Narsih mengangguk. "Nak Wulan ada perlu apa kemari? Sebenarnya Mbok sudah mau tutup warung, tapi karena Nak Wulan kemari Mbok jadi urung-"

"Maaf, Mbok, kalau begitu Wulan pulang saja." Wulan hendak beranjak karena merasa tak enak hati, tapi berhasil dicegah oleh Mbok Narsih.

"Eh, jangan pulang dulu! Di luar hujan, Nak Wulan duduk saja di sini. Mbok bikinkan teh hangat, ya?" Tawaran Mbok Narsih dijawab anggukan oleh Wulan.

Karena dicegah oleh Mbok Narsih, akhirnya gadis itu memilih duduk menunggu hujan reda di warung itu. Sambil menunggu teh hangatnya dibuatkan Mbok Narsih, Wulan menghabiskan waktunya untuk melamunkan segala problem yang akhir-akhir ini membuatnya kewalahan.

Kevin, kejadian tadi akan lebih baik jika menjadi akhir dari hubungan aku dan kamu ... juga akhir untukku mencintaimu.

Lamunan Wulan buyar kala seseorang memanggil namanya. Ema dan ... Hadi? Seketika rasa canggung menatap wajah Hadi membuatnya terlihat kikuk. Belum pernah ia sejauh ini dengan Hadi. Persahabatan yang dibina sejak awal SMA tiba-tiba retak begitu saja. Bahkan retak bukan karena cinta dalam persahabatan, melainkan cinta dari orang asing yang merusak karakter kedua tokoh dalam persahabatan itu.

"Hai!" Wulan membalas sapaan Ema dengan nada canggung. "Kok di sini?" tanya Wulan mencoba akrab. Kini kedua sahabatnya duduk berhadapan dengannya.

"Tadi habis nebus obat ke apotek. Terus kehujanan, jadi mampir dulu ke sini," terang Ema sembari memperlihatkan sebuah plastik berisi beberapa macam obat.

Jawaban Ema mampu membuat Wulan merasa bersalah. Semenjak Ema sakit, ia belum menjenguknya. Jika bukan karena pertemuan yang kebetulan ini, ia mungkin tidak akan bertemu dengan siapa pun beberapa hari ke depan.

"Masih sakit, ya?" Pertanyaan Wulan terdengar kikuk.

Ema yang mampu membaca pikiran Wulan, balas tersenyum, jawabnya, "Sudah nggak sakit. Tinggal pemulihan saja."

Hening setelah jawaban dari Ema. Suasana canggung kembali Wulan rasakan. Sejenak, suasana itu sedikit mencair kala Mbok Narsih mengantarkan teh hangat untuk Wulan.

"Loh, Nak Hadi sama artis Australia kapan datang?" tanya Mbok Narsih sambil tersenyum.

"Baru saja, Mbok," jawab Ema tersipu.

"Sebentar, ya, Mbok buatkan teh hangat juga buat kalian." Mereka tidak menolak ketika Mbok Narsih pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat.

Ema beralih menatap Wulan dan Hadi secara bergantian. Sedari tadi keduanya tak acuh. Bagai orang asing, mereka saling melemparkan pandang ke sembarang arah. Ema tersenyum mengamati pemandangan itu. Mungkin ini saatnya untuk melepaskan perasaan nyaman itu. Ema meraih tangan Hadi dan Wulan, kemudian membuat kedua telapak tangan mereka berdua saling bersentuhan. Mereka merespon dengan tatapan kaget.

"Wulan, aku pernah ingin menyembunyikan keberengsekan Kevin darimu hanya agar Hadi melepaskan perasaanya untukmu." Ema buka bicara. "Namun, setelah kupikir lagi, aku tidak mendapat keuntungan apa pun dari tindakanku itu. Aku juga tidak bisa memaksa Hadi untuk melepaskan perasaanya darimu dan beralih kepadaku." Ema berhenti sejenak. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Sambungnya, "Sudah sejak lama kupergoki Kevin jalan bareng cewek lain. Bukan tidak ingin memberi tahumu, aku hanya ingin kamu menyadarinya sendiri. Aku ingin kamu membuka hatimu barang se-senti untuk Hadi. Terimalah Hadi, Wulan. Sudah sejak lama perasaan itu terpendam dan mengalah untuk lain hati. Persahabatan tidak akan retak hanya karena sebuah perasaan nyaman yang lebih serius."

Bak terhipnotis, Wulan mengangguk berarti, "Iya, aku menerimamu, Hadi."

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang