Metamorfosis memang akan dialami oleh semua makhluk hidup, tapi untuk glow up banyak proses yang harus dilewati. Dan memproses hal baik tidak selalu mudah. Ada kalanya kendala-kendala akan muncul menjadi hambatan proses tersebut. Namun, mereka yang punya keyakinan untuk berubah adalah mereka yang nantinya akan bermetamorfosis secara sempurna layaknya kupu-kupu.
"Wulan, jangan digaruk mulu, dong!" geram Ema. Sejak tadi ia telah mengoleskan berlapis-lapis masker wajah ke muka gadis tersebut, tapi Wulan dengan mudahnya membuat maker itu terkelupas sebelum waktunya.
"Aaiisshh, risih banget, Ma." Wulan merespon dengan tetap menggaruk wajahnya.
"Mau cantik atau enggak?!" cetus Ema kemudian.
"Ya, mau." Wulan menjawab dengan suara lirih.
"Kalau mau, nurut sama aku, ya!"
Minggu pagi yang cerah, Ema sibuk mematut Wulan di kamarnya. Di depan cermin besar, dapat Wulan lihat pantulan wajahnya yang telah berbalut masker berwarna abu-abu. Wulan bergidik melihat wajahnya sendiri. Rasa tak nyaman ia rasakan sejak Ema memoles wajahnya dengan berbagai produk kecantikan. Sementara Ema sering kali merasa geram dengan tingkah Wulan yang suka menggaruk-garuk masker wajahnya sebelum benar-benar kering.
"Eh, apa-apaan ini?" tanya Wulan ketika Ema mengikat kedua tangannya macam pencuri kena borgol polisi.
"Ini tuh, biar kamu nggak garuk-garuk muka terus," jelas Ema, "bandel sih, dibilangin jangan digaruk malah digaruk terus!"
"Tapi nggak begini juga Ema," protes Wulan.
Ema tidak menggubris Wulan yang terus memprotesnya. Bahkan saat Wulan terus mengomel gara-gara ia meletakkan dua irisan timun pada kedua mata Wulan, Ema tidak peduli. Yang Ema inginkan hanyalah perubahan dari Wulan. Ia tidak tahan jika Susi terus bertindak seenaknya kepada Wulan.
Dua puluh menit berlalu, masker wajah di muka Wulan mulai mengering. Sengaja Ema tidak membuka ikatan tangan Wulan, ia gemas ingin mengelupas masker di wajah Wulan tanpa campur tangan gadis itu.
"Sudah selesai?" tanya Wulan kala Ema mengelupas masker wajahnya.
Ema mengangguk. Ia fokus dengan yang dikerjakan.
"Aduh, sakit!" jerit Wulan ketika enam inci masker terkelupas dari wajahnya.
Ema tertawa.
"Ah, Ema sengaja, ya mau ngerjain aku?" Wulan cemberut.
"Enggak kok," jawab Ema masih dengan gelak tawa. "Memang prosesnya begini."
"Mau cantik harus sesakit ini, ya?" tanya Wulan lirih.
"Ah, enggak, nanti juga terbiasa. Nggak apa-apa belajar untuk menikmati proses. Lagipula, kupikir lebih sakit menjadi bahan rundungan karena dipandang tidak sempurna daripada melepas masker ini," ucap Ema membuat Wulan terdiam.
Tidak lama setelah mengutak-atik wajah Wulan, masker di wajahnya terlepas juga.
"Nah, sudah selesai!" seru Ema puas.
Wulan meraba permukaan wajahnya sembari menatap dengan detail ke arah cermin. "Nggak ada perubahan pun," celetuk Wulan.
"Kamu pikir jadi cantik se-instan masak mie?" Ema berkecak pinggang.
Wulan meringis kala melihat pantulan wajah garang Ema di cermin. "Jadi berapa lama lagi aku menjalani ini semua?" tanya Wulan.
"Hm ...." Ema melirik kalender yang berdiri di atas nakas. "Kurang lebih sebulanlah!"
Wulan tercengang. "Serius?" tanya Wulan memastikan.
Ema mengangguk mantap. "Iya, perlombaannya kan masih bulan depan selepas ujian, jadi masih ada waktu untuk glow up."
Setelah menyelesaikan ritual bersoleknya, Ema mengajari Wulan cara berjalan ala model. Butuh kesabaran ekstra ketika mengajari Wulan berjalan seperti itu. Apalagi sebelumnya Wulan tidak se-anggun ini.
"Heh, kakinya ditutup sedikit! Jangan ngangkang!" intruksi Ema bak mandor yang segera Wulan patuhi.
Sekali lagi Wulan mencoba berjalan seperti yang telah Ema instruksikan dan contohkan.
"Bukan begitu!" Ema mengacak rambutnya-geram-sebab Wulan berjalan macam orang yang kakinya terlilit tali dan tak punya ruang untuk terbuka lebih lebar.
Ema akhirnya mencontohkan lagi cara berjalan yang benar. Tidak mungkin gaya berjalan Wulan akan ditampilkan dalam kompetisi fashion show nanti. Bukannya menang malah akan menjadi ajang perundungan jika cara berjalan Wulan masih tetap seperti itu.
"Perhatikan baik-baik, ya!" Ema mencontohkannya kembali.
"Ah, susah banget!" keluh Wulan ketika ia mencoba mengikuti gaya berjalan Ema.
"Dicoba terus biar bisa," saran Ema.
Tidak pantang menyerah, Wulan mencoba lagi berjalan bak model profesional. Berkali-kali Ema menegurnya karena ada saja kesalahan yang ia perbuat. Teguran dari Ema tidak membuatnya ciut justru membakar gelora semangatnya. Wulan mencoba lagi. Ia berjalan melenggok-lenggok di depan Ema. Ema sesekali mengangguk ketika Wulan melakukannya dengan benar. Komentar-komentar dari Ema terus mengucur. Berulang kali Ema mencontohkan, lagi dan lagi. Namun, segala hal yang dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak pernah menghianati keringat yang menetes. Tepuk tangan dari Ema membayar jerih payah kesungguhan Wulan. Setelah hampir dua jam ia berlatih, akhirnya ia bisa berjalan anggun layaknya model profesional.
"Keren, itu permulaan yang bagus!" Ema tak henti memuji Wulan. Ia mengacungkan dua jempol tangannya sebagai apresiasi atas hasil yang Wulan peroleh.
Merasa bangga Wulan bertanya, "Sudah 'kan?"
"Belum! Kali ini kamu harus mencobanya dengan sepatu ber-hak."
Wulan menelan ludah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cantik
Teen FictionKamu itu cantik! Nggak perlu muluk-muluk untuk jadi cantik karena cantik nggak cuma soal fisik. Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi Writing Project yang diselenggarakan oleh @RdiamondPublisher #WPRD2TimHipHop #WritingProjectDiamond #RDiamondP...