Mengalah

29 22 10
                                    


Ema hempaskan tubuhnya ke atas ranjang, lalu terisak sepuas-puasnya. Hujan tiba-tiba kembali deras. Padahal dua puluh menit lalu, saat ia dan kedua sahabatnya memutuskan untuk pulang, rintik hujan telah terhenti. Akan tetapi, kini hujan kembali membasuh bumi seolah ikut meneteskan air mata kesedihan untuk Ema. Gadis berkulit sawo matang itu terdiam beberapa saat setelah isaknya tak lagi terdengar.

"Lucu ya, Ma! Kamu kuat banget, bisa melepas perasaanmu begitu saja!" Ema menertawakan dirinya sendiri. "Ah, iya kamu juga tulus banget, Ma. Keren! Dua jempol untukmu! Kamu bisa ikhlas dan mengalah."

Ema kembali menangis. Tangisnya semakin deras, sederas rinai hujan yang membentur atap rumahnya. Perasaaan itu meluap begitu saja. Bak air bah yang membanjiri pipi, tangis Ema tiada berhenti. Ada rasa sesal setelah melepas dan mengorbankan perasaannya. Ia jadi benci dirinya yang begitu ceroboh.

Klek!

Pintu kamar Ema terbuka.

Sial, aku lupa mengunci pintu! Buru-buru Ema usap air matanya. Meski masih berbekas kesedihan itu di wajahnya, ia mencoba tersenyum jua.

Mira melangkahkan kaki menuju ranjang putri semata wayangnya. Keningnya berkerut, heran. Ada rasa khawatir kala mengetahui Ema menangis.

"Sayang, kenapa?" tanya wanita paruh baya itu. Raut wajahnya berubah cemas.

"Ah ..., ini ... Ema lagi pengin nangis aja, Mi." Ema bersandiwara demi menyembunyikan masalahnya.

"Kok pengin?" tanya Mira tak mengerti. "Sayang, sini bersandar ke bahu mami," suruhnya kemudian.

Pertahanan Ema pun roboh. Ia sandarkan kepalanya di bahu sang mami sambil mendekap wanita itu masih dengan isak yang semakin deras. Kondisi itu mampu membuat mami-nya iba. Ema rasakan kecupan hangat di pucuk kepalanya yang dilakukan secara berulang-ulang oleh wanita yang melahirkannya itu. Beliau juga mengusap lembut pundak Ema. Kesedihan itu seolah berhasil ditransfer kepada maminya. Ema terus menangis. Kedekatan ini membuatnya rindu akan masa-masa penuh cinta sebelum semuanya retak.

Sejak kepergian papinya, Ema selalu merasa kasih sayang yang seharusnya ia dapat menghilang begitu saja. Sejak orang tuanya tak lagi bersama, sering kali ia coba memenuhi kebutuhan kasihnya secara mandiri. Ia melakukan apa pun yang sekiranya mampu membuatnya sedikit lega. Namun, manusia tetaplah lemah, bagaimana pun ia menghindar dari kenangan dan sebuah masalah, keduanya akan tetap singgah dan membekas di pikiran Ema.

Hadi telah menjadi bagian dari perasaan Ema yang abadi. Hadi acap kali mentransfer kebahagian yang sebenarnya Ema harus dapatkan dari papinya. Hadi adalah satu-satunya pria yang mampu mengisi ruang hampa dalam hidupnya dan menjadikan hari-harinya lebih berharga.

"Mami, Ema takut." Dibalik isaknya, Ema mencoba memperjelas kalimat yang ia ucapkan.

"Takut apa, sayang?" Mira bingung akan penuturan Ema.

"Takut ... takut sekali, Mi! Takut ... takut jatuh cinta ... kalau nanti tak mendapatkan cinta yang baik." Ucapan Ema mampu merenyuhkan hati maminya.

Wanita paruh baya itu mendekap Ema sepenuh hati. Ia alirkan energi kasih kepada putri semata wayangnya itu. Hiburnya, "Sayang, jangan takut. Cinta yang baik selalu ada untuk orang baik seperti Ema-"

"Mustahil, Mi! Ema telah melepaskan perasaan itu. Ema mengalah demi seseorang yang baik pula."

Mira menghembuskan napas. Perlahan ia coba jelaskan kepada Ema, "Sayang, cinta yang baik memang diperuntukkan orang yang baik. Namun, orang yang baik tidak selalu mendapatkan cinta yang baik semudah itu. Kadang memang demikian, bukan karena tak percaya, tapi cinta juga ingin melihat seberapa besar kesabaran untuk menanti. Jangan khawatir, semua cinta itu baik untuk sepasang kekasih yang tepat."

"Jadi-"

"Jadi, kamu memang belum ditakdirkan satu tujuan dengan perasaanmu. Berdamailah dengan perasaan itu. Belajar ikhlas untuk sesuatu yang lebih baik karena ganjarannya tak terhingga," sela Mira bijak.

Ema tersenyum. Ada secuil tenang yang merasuk hatinya. Terasa damai hatinya sekejap. Ia rasakan betapa hangat ketenangan itu menjalari hatinya. Ia tatap maminya dengan binar mata yang memancarkan kedamaian.

"Terima kasih, Mi." Ema berbisik sembari mengeratkan pelukannya.

"Iya, Sayang, sama-sama. Jangan sedih lagi, ya." Mira mencoba menguatkan.

🌙🌙🌙

Hadi masih tidak percaya jika Wulan mulai membukakan hati untuk Hadi. Ini terasa begitu cepat untuk sebuah rasa sakit hati seabad. Ia tidak menyangka Wulan akan menerimanya dengan mudah setelah segala rasa yang ia pendam sering kali dikalahkan oleh perasaan Wulan yang bertolak belakangan. Sempat terbesit di pikiran Hadi, apakah Wulan hanya menjadikannya sebuah pelampiasan? Namun, ia juga mengenal Wulan dengan baik, selama berteman dengannya tak pernah Hadi lihat keburukan gadis itu. Antara yakin dan bingung, Hadi mencoba berpikir secara logika dan objektif untuk tetap membiarkan perasaanya menjarah ke hati Wulan.

"Wulan, benarkah yang kamu katakan sore tadi?" Hadi menanyakannya kepada diri sendiri. "Jika benar, apa alasanmu membiarkan perasaanku menjamah ruang kosong di hatimu? Apakah hanya karena ingin menumpahkan segala amarahmu? Apakah hanya sebagai pelampiasan atas rasa sakit yang ditorehkan Kevin kepadamu?"

Hadi menggeleng pelan. Ia hapus segala kekeruhan dalam pikirannya.

"Wulan haruskah aku memperjuangkan kembali perasaan ini dengan risiko patah hati atau mengalah seperti sedia kala?"

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang