Perkara Nasi Goreng

72 75 69
                                    

"Lah, Nak Hadi kenapa masih berkeliaran di luar? Bolos ya?" tanya Mbok Narsih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lah, Nak Hadi kenapa masih berkeliaran di luar? Bolos ya?" tanya Mbok Narsih.

"Aduh." Hadi menepuk jidatnya ketika sadar telah terlalu lama dan banyak mengobrol dengan Mbok Narsih. "Mbok, Hadi titip vespa ya. Pulang sekolah Hadi jemput sekalian mampir." Setelah berkata demikian, Hadi mencium punggung tangan Mbok Narsih-pamit.

Hadi keluar dari warung bubur ayam Mbok Narsih dengan tergesa-gesa. Ia melangkahkan kakinya ke utara. Di sana ada sebatang pohon jambu air yang memiliki banyak cabang dan tak begitu tinggi. Pohon itu tumbuh persis di dekat pagar beton sekolah.

Hadi nekad memanjat pohon itu. Naik ke salah satu cabang yang menghubungkannya dengan pagar beton. Ia berpindah dari cabang pohon ke pagar beton lantas terjun dari atas pagar. Tidak ada yang melihat aksinya. Misi pertamanya berhasil.

🌙🌙🌙

Hadi mengendap-endap masuk ke dalam barisan. Beberapa siswa meliriknya tanpa heran. Sudah lumrah hal seperti ini: budaya terlambat, panjat pagar, dan mengendap masuk ke barisan adalah tradisi bagi mereka yang kurang disiplin.

Selain Hadi, siswa lain juga melakukan hal yang sama ketika mereka terlambat. Tapi hari ini Hadi adalah satu-satunya siswa yang melakukan hal itu. Selama upacara berlangsung tak satu pun siswa yang menyelinap masuk ke barisan selain Hadi. Entahlah, tumben sekali.

Barisan khusus yang disediakan untuk siswa yang melanggar aturan tidak berisi sama sekali. Apakah para tukang onar di sekolah ini sudah tobat dan berhijrah menjadi siswa yang disiplin?

"Kak!" Seseorang menepuk bahu Hadi. Sial, ternyata sejak tadi salah seorang pengurus OSIS memperhatikan gerak-geriknya.

"Kakak terlambat kan?" tanya siswa ber-almameter itu.

Hadi tidak dapat berkutik. Akhirnya barisan khusus itu diisi oleh Hadi.

🌙🌙🌙

Konsekuensi atas perilakunya itu, Hadi dihukum hormat bendera hingga jam pelajaran pertama selesai. Ketika bel pertanda istirahat sudah berbunyi, itu artinya konsekuensi yang ia terima telah usai. Setelah menjalani konsekuensi itu, Hadi berjalan gontai ke kelas. Sengatan matahari pagi ditambah dia belum sarapan, membuat tubuhnya lemas.

"Oi, Bro!" sapa Wawan sembari menepuk pundak Hadi.

Hadi yang bahunya ditepuk Wawan jadi sempoyongan. "Apaan sih?" Hadi menepis tangan Wawan.

"Heee, tampak-tampaknya lemas nih gara-gara dapat hukuman hormat bendera." Wawan tertawa. "Alah, masak ketua taekwondo SMA Cakra lemah begitu!" lanjut Wawan masih dengan menepuk-nepuk bahu kawan baiknya itu.

"Sudahlah nggak usah banyak omong! Kamu mau ke kantin? Aku titip nasi goreng sosis kasih telur setengah matang sama tomat. Tomatnya dibanyakin," ucap Hadi seraya merogoh uang puluhan ribu dari saku seragamnya, "oh iya, es susunya satu ya." Hadi menyerahkan uang itu kepada Wawan.

"Weh, yang habis gajian uangnya banyak ...," ledek Wawan seraya mencium uang pemberian Hadi.

"Itu kembalian uangnya balikin lagi!"

"Yeeeh, punya bos pelit amat sih," cibir Wawan.

Hadi tak menanggapi cibiran Wawan, ia segera masuk ke kelas. Masih ada beberapa siswa di kelas. Sebagian dari mereka adalah siswa-siswa ambisius yang tengah berkutat dengan buku dan tugas. Hadi melirik ke arah papan tulis. Astaga, bagaimana Hadi bisa lupa, hari ini pelajaran fisika sudah pasti banyak materi yang harus disalin dari papan tulis. Belum lagi bejibun tugas yang minta dikerjakan.

Wulan adalah salah satu siswa pintar di kelas ini. Tampak di bangku terdepan nomor dua barisan tengah, ia tengah sibuk menyalin materi dari papan tulis.

"Hai, Lan." Hadi duduk di samping Wulan.

Wulan tak menanggapi sapaan Hadi, ia hanya melirik sekilas pria itu lalu kembali fokus kepada bukunya.

"Ngambek ya?" Hadi masih mencoba akrab meskipun Wulan bersikap dingin kepadanya. "Maaf, tadi aku kesiangan. Aku sempat mampir ke rumahmu kok. Kata bunda kamu sudah jalan duluan. Aku juga sempat mencari-cari kamu di antara angkot yang terjebak macet di jalan. Eh, kamunya juga nggak ada. Akhirnya ...."

Wulan menatap tajam ke arah Hadi. "Bisa diam nggak?!" Gadis itu kembali fokus mencatat materi di papan tulis.

Hadi tersenyum. Meski membentak akhirnya Wulan bicara kepadanya. Hadi mengalihkan pandangannya ke pojok meja, ke sebuah kotak makan berwarna ungu. Hadi menggapai kotak makan itu. Penasaran, ia buka kotak makan milik Wulan. Nasi goreng sosis! Hadi berseru dalam hati. Nasi goreng dalam kotak makan itu topingnya sama persis seperti nasi goreng yang Hadi pesan kepada Wawan. Ah, Wulan, seromantis ini ternyata.

"Bukan buatmu!" Seolah sudah mengerti apa yang Hadi pikirkan, Wulan merebut kembali kotak makannya.

Hadi yang sudah menyendok nasi goreng itu teramat terkejut dengan ucapan Wulan. "Terus buat siapa?" tanya Hadi penasaran.

"Buat Kevin."

Hadi terdiam. Hatinya hancur mendengar nama Kevin disebutkan. Bagaimana bisa Wulan melakukan hal itu. Wulan tahu bahwa nasi goreng itu khas sekali kesukaannya.

Atau mungkin hanya karena sedang ngambek, sehingga Wulan ingin memberikan nasi goreng kesukaanku kepada Kevin, Hadi mencoba berpikir positif.

"Benaran buat Kevin?" tanya Hadi tidak percaya.

Wulan mengangguk.

"Kenapa?" tanya Hadi, "karena kamu ngambek akhirnya kamu kasih nasi goreng kesukaanku buat Kevin?"

"Hari ini jadwal ekstrakurikuler basket kan? Kevin butuh makan bergizi untuk menjalani aktivitasnya. Tiga hari lalu aku lihat dia makan nasi goreng dengan toping yang sama. So ...." Wulan berhenti sejenak. "Sudah ya, Di. Aku malas berbicara banyak hari ini."

Ternyata Wulan memang serius ingin memberikan nasi goreng itu kepada Kevin. Hadi hanya diam menelan pahitnya kenyataan.

"Oi, Di! Ini nasi gorengnya." Tiba-tiba Wawan sudah berada di samping Hadi, pria itu menyerahkan pesanan Hadi.

"Makan saja, Wan! Aku nggak selera," ucap Hadi sembari berdiri dari tempat duduknya.

"Lah, kenapa?" tanya Wawan heran. Pria berambut keriwil itu merogoh saku seragamnya-mengambil kembalian.

"Kembaliannya ambil saja ..., buat beli plester."

"Aneh banget kau, Di. Tadi katanya, kembaliannya jangan lupa dibalikin. Sekarang, malah kau kasih cuma-cuma ke aku. Lagian, apa hubungannya nasi goreng, nggak selera makan, sama plester?" Wawan masih tidak mengerti dengan arah pembicaraan Hadi.

"Plesternya buat nutupin luka di hati!" bisik Hadi seraya berlalu.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang