Runtuh Cinta, Hati yang Binasa

48 44 51
                                    

Sejujurnya, Ema tidak pernah tertarik dengan dunia permodelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejujurnya, Ema tidak pernah tertarik dengan dunia permodelan. Semua yang ia lakukan tak lain adalah anjuran-anjuran dari mami-nya. Semua yang ia lakukan hanyalah paksaan, bujuk dan rayu mami-nya dengan dalih hal ini baik untuk masa depannya.

Kala itu, Ema tak berdaya menolak keinginan mami-nya. Ia pikir, menjadi model adalah pilihan terbaik meski hatinya tak ingin. Ternyata ia salah, ia telah menentang hatinya sendiri. Di usianya yang ketujuh belas tahun, setelah genap dua tahun ia berkarir sebagai model, setelah semua kontrak kerja usai, dan setelah kejadian paling menyakitkan terjadi di dalam keluarganya, Ema memilih berhenti dan mengambil keputusan ini. Pulang ke Indonesia.

Sebelum pulang ke tanah air, mami-nya sempat menolak karena merasa tak rela meninggalkan karir dan bisnisnya yang sedang meroket. Tapi kali ini Ema tidak gagal membujuk mami-nya hingga beliau setuju.

Mungkin bagi sebagian orang, menjadi Ema adalah nasib yang menguntungkan. Bagaimana tidak, gadis itu selalu diburu oleh para pebisnis fashion dan pertelevisian untuk dijadikan brand ambassador muda. Tidak diragukan lagi betapa banyak keuntungan yang Ema raup dari karirnya. Ia juga memiliki berjuta-juta pengikut diberbagai akun media sosial.

Tidak hanya itu ia juga terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Kedua orang tuanya sangat mendukung keberlangsungan karir Ema. Ema juga anak yang cukup pintar di sekolahnya. Ia sering mendapat pujian dari pihak sekolah atas pencapaiannya. Bagi sebagian orang, itu adalah kehidupan paling sempurna yang sangat diimpikan oleh siapa saja.

Sayangnya, di balik senyum yang selalu terkembang di wajahnya. Di balik potret menawan yang terpampang dimana-mana, ada sebongkah luka yang ia simpan. Ada hati yang mudah rapuh jika disentuh. Ada rasa kecewa yang tidak terungkap. Semua itu bersembunyi dibalik ketabahan hatinya.

Genap tujuh belas tahun usia Ema, pria yang menjadi cinta pertamanya mengkhianatinya. Papi. Pria itu meruntuhkan pundi-pundi keharmonisan keluarga. Tapi saat itu Ema sudah cukup dewasa, ia tahu alasan di balik robohnya pertahanan hati papi. Bahkan untuk alasan yang beliau utarakan Ema tidak mampu menganggap itu salah, tidak juga benar.

" ... kau bahkan tidak pernah memikirkan suamimu!" teriak Erik malam itu, "yang kau pikirkan hanyalah bagaimana membuat karirmu semakin cemerlang. Apakah gajiku selama ini tak cukup untuk menafkahimu?!"

"Lalu apa bedanya dengan kau yang juga tak pernah punya waktu untuk kami?! Aku berkarir untuk mewujudkan mimpiku, apa itu salah?" Mira juga berteriak tak mau kalah. "Aku bahkan lebih baik darimu karena tidak pernah mengkhianati janji suci pernikahan kita ...."

Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Mira. Kejadian itu Ema saksikan sendiri dari balik tembok yang mengadang antara ruang makan dan ruang keluarga.

Seminggu selepas kejadian itu, surat perceraian mendarat. Tanpa basa-basi dan berpikir panjang Mira setuju. Setelah menandatangani kertas putih itu, Ema merasa semua cerita tentang keluarga bahagia telah tamat.

Sebulan setelah perceraian kedua orang tuanya, hari-hari Ema terasa begitu suram. Perlahan ia menjauh dari dunia permodelan. Ia juga sering menolak permintaan mami dan para kliennya. Kefokusan belajarnya menurun. Setiap hari dia merindukan papinya yang entah telah berlabuh ke keluarga yang mana.

Ema iri melihat teman-temannya diantar ke sekolah oleh papi mereka. Ia iri melihat anak-anak bercanda ria bersama kedua orang tuanya di taman kota. Setiap hari, Ema merasa tak berdaya.

Di sekolah ia tidak terlepas dari perundungan teman-temannya. Di sana mereka mendiskriminasi Ema. Perundungan itu sebenarnya sudah ia dapat sejak awal masuk sekolah menengah pertama, waktu itu hanya perundungan wajar yang masih bisa Ema atasi. Namun, lambat-laun perundungan itu terasa semakin kejam. Apalagi setelah Ema terlepas dari karirnya, mereka semakin semena-mena terhadap Ema.

Ema pernah berada di titik paling sulit dimana ia tidak bisa bergerak sedikit pun untuk mengubah nasibnya. Berkali-kali ia sampaikan kepada mami-nya untuk segera meninggalkan Australia, tapi hanya dibalas tolakan. Setiap hari ia ungkapkan perasaan rindunya kepada papi lewat monolog di depan cermin. Sayangnya itu tidak mampu mengobati luka di hati.

Ema kalut. Ia tersesat dalam kerumitan yang ia jalani. Semuanya begitu berat. Ia menumpahkan semuanya pada obat-obatan terlarang. Seminggu setelah Ema mengonsumsi benda haram itu, hingga akhirnya Mira tahu. Dan memutuskan untuk menjauhkan semuanya dari Ema sebelum putri semata wayangnya itu ketergantungan.

Mira akhirnya mengambil keputusan untuk pulang ke Indonesia. Berharap ia dan Ema akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Ting ..., ting ..., ting .... Suara piring dan sendok yang beradu berbaur dengan bau sedap, membuyarkan lamunan Ema dan Hadi.

"So, baksooo!" teriak Mang Ujang, pedagang bakso keliling langganan Hadi.

"Bakso, Mang!" teriak Ema antusias. Gadis itu bangkit dari tidurnya. Lalu berlari menuju Mang Ujang yang telah menghentikan gerobak baksonya di depan gerbang rumah Hadi. "Hadi, hayuk!"

Hadi tertawa menanggapi sikap Ema yang antusias. Lantas menyusul sahabat kecilnya itu. Hadi duduk di kursi plastik yang telah disediakan Mang Ujang. Ia duduk di samping Ema yang telah terlebih dahulu menyantap bakso super pedas yang tertera di menu gerobak.

"Den Hadi mau menu bakso yang mana?" tanya Mang Ujang ramah.

"Bakso telur original saja, Mang."

"Duh, tumben nggak milih yang pedas? Biasanya langganan bakso mercon," tanya Mang Ujang sembari menyiapkan pesanan Hadi.

"Lagi ngamanin perut, Mang." Hadi tertawa.

"Hampura atuh, Den, kalau bakso merconnya kepedasan."

"Halah, si mamang, biasa saja. Hadi suka, kok. Kebetulan saja lagi pengin bakso telur. Bosan kalau bakso mercon terus," ungkap Hadi yang mencoba menepis kesungkanan Mang Ujang.

"Nah, ini, Den baksonya." Mang Ujang menyerahkan semangkuk bakso kepada Hadi.

"Terima kasih, Mang."

Mang Ujang tersenyum, lalu meninggalkan keduanya untuk mencuci mangkuk bekas makan pelanggan sebelumnya.

"Memang di Canberra nggak ada yang jual bakso, ya?" tanya Hadi sembari geleng-geleng memperhatikan sahabatnya yang begitu antusias melahap butir demi butir bakso pedas itu.

"Mungkin ada, tapi aku-nya nggak tahu," jawab Ema.

"Pelan-pelan makannya, nanti tersedak." Hadi menasihati Ema dengan wajah terheran-heran.

" Hadi menasihati Ema dengan wajah terheran-heran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang