Mengalah atau Melawan Perasaan?

94 90 25
                                    

Hallo, guys, terima kasih masih berkenan mampir. Seperti biasa, mari pasang earphone-mu lalu dengarkan lagu yang berjudul "Tukar Jiwa" maha karya Tulus. Kupikir itu lagu sangat cocok untuk menggambarkan kondisi Hadi di part ini.

Vespa yang mereka kendarai kini tiba di depan sebuah rumah bercat ungu, rumah Wulan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Vespa yang mereka kendarai kini tiba di depan sebuah rumah bercat ungu, rumah Wulan. Wulan turun dari vespa itu lalu menyerahkan helm yang ia kenakan kepada Hadi. Tidak lupa ia berterima kasih kepada Hadi karena telah mengantarnya pulang.

"Pulang dulu ya," pamit Hadi kepada Wulan.

Wulan mengangguk sembari melambaikan tangan kepada pria itu. "Hati-hati!" ucap Wulan.

Sejurus kemudian vespa yang dikendarai Hadi meluncur di jalanan, pulang menuju rumahnya. Malam semakin larut. Kabut tipis bergantungan di atmosfer. Angin malam menerpa tubuh Hadi, menusuk sampai ke pori-pori. Meski sudah menggunakan jaket rasa dingin itu seolah tak berkurang. Hadi memacu laju vespanya agar segera tiba di rumah.

🌙🌙🌙

Sesampainya di rumah, Hadi merebahkan tubuhnya di kasur kamar. Merilekskan tulang-tulangnya sambil menikmati empuknya kasur yang ia tindihi. Hadi menatap ke langit-langit kamar. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Berulang kali ia coba memejamkan mata. Mengalihkan pikirannya. Menghapus segala gelisah yang ada. Tapi gagal. Nihil usahanya menepis kegelisahan di hatinya. Ada apa dengan perasaan ini? Hadi bertanya dalam hati.

Hadi melirik ke arah nakas di samping tempat tidurnya. Di atas nakas itu, di dekat jam beker berbentuk kodok hijau pemberian Wulan, ia menatap bingkai foto yang terpajang di sana. Hadi duduk bersandar di punggung dipan. Meraih foto hasil jepretan dua bulan yang lalu. Tampak di sana dua sejoli berpose mengenakan kacamata karakter. Lucu. Hadi tersenyum sendirian. Ia peluk bingkai foto itu seraya menengadahkan wajahnya ke langit, berharap ada yang mengerti perasaannya. Namun sesaat kemudian Hadi tersadar akan ekspektasinya.

Sudah genap dua tahun Hadi mencintai gadis itu. Ia bahkan tak mengerti mengapa perasaan itu bisa jatuh menimpa hatinya. Hadi adalah pria yang tampan, pintar, dan ramah kepada siapa saja. Tidak sedikit pula perempuan sebayanya yang naksir kepada Hadi. Namun Hadi tak pernah menjatuhkan hatinya kepada salah seorang dari mereka.

Hatinya benar-benar sudah dipagar oleh seorang gadis cupu yang sering minder. Sosok yang selalu menemaninya sejak masa orientasi di SMA. Gadis yang kata banyak orang tak mewarisi wajah cantik sedikit pun. Si culun yang sulit bergaul karena rasa minder yang menutup kepercayaan dirinya. Namun Hadi tak memadang semua itu. Di matanya, dia adalah sosok yang paling sempurna. Hadi mencintai Wulan. Bahkan sebelum cerita ini dituliskan, Hadi sudah mencintai Wulan.

Baginya Wulan adalah gadis yang istimewa. Ia baik hati dan pemurah. Wajah bopengnya itu adalah pancaran sinar kecantikan yang tiada tara. Tidak ada alasan bagi Hadi untuk membencinya ataupun menghakiminya agar mengikuti standardisasi kecantikan pada umumnya.

Cantik itu relatif bukan? Lantas mengapa harus pusing-pusing memedomani standar kecantikan? Lagipula cinta tidak selalu memandang sesuatu dari sampulnya. Cinta tahu dimana dia harus menjatuhkan perasaan itu pada orang yang tepat. Bukan hanya pada orang yang elok rupa.

Namun sejauh Hadi mencintai Wulan, diam-diam ia rasakan patah hati yang mendalam. Ada rasa tidak senang ketika Wulan banyak bicara soal Kevin, pria yang diam-diam Wulan cintai. Ada rasa jengkel ketika Wulan terus bertanya kepadanya apakah ia pantas bersanding dengan Kevin. Ada rasa cemburu ketika Wulan mematut diri dan berniat pergi ke festival kembang hanya demi Kevin. Ada gejolak kecewa ketika perasaannya selalu mengalah dan menerima kenyataan bahwa realita menusuk harapannya.

Hadi ingat percakapannya dengan Wulan beberapa waktu yang lalu.

"Hadi, aku mau kita berteman selamanya." Wulan menatap lekat wajah Hadi.

Hadi balik menatap Wulan lalu bertanya, "Bukankah memang harus begitu?"

"Iya, tapi maksudku, aku nggak mau ada perasaan yang terlibat dalam persahabatan kita ...," Wulan berhenti sejenak, lantas melanjutkan, "banyak perasaan yang tumbuh karena persahabatan, tapi konsekuensinya persahabatan sering hancur karena perasaan. Cinta itu kejam, Di. Akan lebih baik kalau sahabat tidak saling jatuh cinta."

"Idih, ngomong kayak gini kesannya ke-pd-an banget sih. Lagian nggak mungkin aku melibatkan perasaan dalam persahabatan ini. Apalagi kalau perasaan itu buat nona galak yang keras kepala macam kamu," kata Hadi sembari memaksa tertawa.

"Ih, Hadi, nyebelin!" Wulan mencubit lengan Hadi.

Bayangkan saja betapa remuknya perasaan Hadi kala itu. Bahkan sebelum perasaannya ia ungkapkan, ia telah mendapat peringatan keras dari Wulan. Wulan, Wulan, andai kamu tahu perasaanku, batin Hadi putus asa. Memikirkan semua itu membuat Hadi lelah hingga tenggelam dalam lelapnya.

🌙🌙🌙

"Hadi ...!" panggil seseorang dari luar kamar sembari menggedor pintu dengan keras.

Pagi sudah menjelang. Kokok ayam bersahut-sahutan dari balik jendela. Matahari muncul malu-malu di ufuk timur. Jam beker berbentuk kodok yang nangkring di nakas sebelah ranjang Hadi sudah berbunyi sejak tiga puluh menit yang lalu. Sementara itu di dalam kamar, Hadi masih berselubung dengan selimutnya. Ia menutup telinganya dengan bantal ketika merasa terganggu oleh suara bising dari luar kamar.

"Hadi bangun, Nak! Nanti sekolahnya telat loh," ucapnya lagi dari balik pintu kamar. Suara siapa lagi kalau bukan suara Mama Rosa. Wanita paruh baya itu masih mengetuk keras pintu kamar Hadi.

Dengan malas Hadi bangun dari tidurnya. Turun dari ranjang lantas membuka pintu kamarnya. Ia menguap lebar-lebar di depan mamanya itu.

"Kebiasaan, kalau nguap nggak ditutup mulutnya! Nanti kalau tersedak lalat baru tahu rasa," omel Mama Rosa.

"Lagian mama kenapa sih, pagi-pagi begini sudah nyuruh bangun? Ini kepagian tahu, Ma. Hadi mau sambung tidur lagi ah," ucap Hadi dengan mata setengah tertutup. Ia memutar badannya, melangkah menuju ranjang.

"Eee, nggak ada cerita sambung tidur. Sekarang waktunya mandi. Ayo cepat!" suruh Mama Rosa. Beliau menarik bagian belakang baju Hadi dan menyeretnya keluar kamar.

"Aduh, Mama, iya-iya Hadi mandi. Tapi nggak perlu nyeret-nyeret begini dong, Ma!" protes Hadi.

"Kamu kalau nggak diginiin nggak bakal berangkat ke kamar mandi. Sudah sana mandi!"

Dengan kantuk yang masih hinggap di mata, Hadi menyeret langkahnya menuju kamar mandi. Selepas mandi pria itu segera bersiap ke sekolah. Tanpa ia sadari ia telah menghabiskan banyak waktu.

Hari sudah menujukkan pukul 07.05 sementara itu dua puluh lima menit lagi upacara bendera dimulai. Hadi menggerutu kesal, bagaimana mungkin ia dapat menempuh perjalanan ke sekolah dalam waktu sesingkat itu. Di jam-jam segini jalanan tentu macet parah, dan itu akan menghambat laju perjalanannya.

Ah, sial! Hadi teringat suatu hal, kemarin ia berjanji akan menjemput Wulan karena sepeda gadis itu tengah diperbaiki di bengkel. Kini Hadi harus terburu-buru meluncur ke rumah Wulan barulah setelah itu ia dapat pergi ke sekolah.

 Kini Hadi harus terburu-buru meluncur ke rumah Wulan barulah setelah itu ia dapat pergi ke sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang