Menanam Harapan

55 24 31
                                    

Hadi menatap kosong ke arah hamparan danau bersama Wulan yang duduk di sampingnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hadi menatap kosong ke arah hamparan danau bersama Wulan yang duduk di sampingnya. Hening di antara mereka dipecahkan oleh riuh suara burung yang pulang ke sarang, di pohon-pohon dekat situ. Sudah dua puluh menit sejak Wulan datang ke tempat itu, Hadi tak kunjung bicara. Sementara itu, langit mulai jingga. Lampu-lampu taman gemerlapan menggantikan cahaya mentari yang semakin pudar ditelan waktu. Ketika senja benar-benar hilang, barulah Hadi membenarkan posisi duduknya. Ia tak lagi menatap kosong ke arah danau. Kini, ia menatap lekat mata gadis yang berada di hadapannya. Tatapan aneh itu membuat Wulan canggung. Jarang sekali Hadi menatapnya dengan tatapan seperti ini.

"Hadi ... aaa ... adaa ... apa?" tanya Wulan gugup. Jantungnya berdegup kencang. Rasa takut menjalari tubuhnya.

Hadi tidak memberikan jawaban. Ia malah semakin tajam menatap Wulan.

"Apakah aku melakukan kesalahan?" tanya Wulan lagi, "Hadi, jangan menatapku seperti itu! Aku takut!" Wulan menggigit bibir bawahnya.

Hadi tiba-tiba tertawa. Hal itu tentu membuat Wulan kaget. Apakah Hadi hanya mempermainkannya dan berusaha untuk menakut-nakuti gadis itu? Tawa itu pun terdengar berbeda, tawa yang tegang. Lebih cocok dikatakan sebagai tawa palsu, tawa yang dibuat-buat. Setelah puas tertawa, ia hembuskan napasnya kuat-kuat. Pria itu beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan pelan menuju danau, lantas melemparkan sebuah batu ke dasar danau, membuat danau yang awalnya tenang menjadi beriak. Kemudian, Hadi berteriak. Aneh. Wulan semakin takut. Ia turut beranjak dari tempat duduknya. Ia dekati Hadi dan berdiri di samping pria itu. Takut kalau Hadi berbuat nekat, terjun ke danau tanpa alasan yang jelas.

Hadi menengadahkan kepalanya ke langit yang redup. Ia tatap bintang yang tak begitu banyak bersinar malam ini. Setelah puas menatap pemandangan langit, ia usap wajahnya. Ia posisikan tubuhnya agar berhadapan dengan Wulan. Ia pegang pundak Wulan dengan gemetar. Getaran itu bahkan dirasakan oleh Wulan.

"Hadi, ada apa?" Wulan menjadi cemas. Ia paham, ada yang hendak Hadi ungkapkan, tapi kalimat-kalimat itu seolah tersekat atau bahkan hilang bersama batu yang ia buang ke danau.

Sepi di antara mereka, tapi mata mereka liar mengartikan kata-kata hati. Wulan sibuk menebak apa yang hendak Hadi katakan. Sedangkan Hadi, ia bingung harus memulai dari mana.

Baiklah! "Wulan." Akhirnya sebuah kata keluar dari mulut Hadi. Meski terdengar lirih bahkan nyaris tak terdengar karena terbawa desir angin.

"Katakan!" Mata Wulan berbinar menatap paras Hadi

"Aku mencintaimu ... tapi, tidak dengan amarahmu, tidak dengan egomu ... aku bahkan tak mencintai masa lalumu, tapi ... aku bisa menerimamu ... sebagai Wulan yang baru." Hadi berterus-terang.

Wulan bungkam. Matanya semakin berani menatap wajah Hadi. Resah kala ia mendengar penuturan Hadi. "Jadi-"

Hadi menyela, "Jadi, jika menerimaku adalah upaya untuk melampiaskan segala amarah dan egomu atas masa lalumu, lebih baik aku mengalah." Hadi menunduk, perlahan ia turunkan tangannya dari pundak Wulan. "... mengalah untuk kemungkinan tidak memiliki dan merasakan patah hati," sambungnya.

Wulan merasa pilu mendengar menuturan pria itu. Ternyata di mata Hadi ia hanyalah sebuah keraguan. Namun, setelah banyak hal yang Wulan lewati. Setelah segala perkara ia pusingkan setiap waktu, bayang Hadi kerap melintas. Bahkan sebelum Kevin ada, Hadi telah memiliki ruang khusus di hatinya. Walaupun selama ini Wulan menolak untuk jatuh cinta padanya, tapi perspektifnya berhasil dipatahkan. Ia sadar bahwa Hadi adalah dirinya sendiri. Pria itu juga menanam harap kepada seseorang yang tak pernah menghiraukan perasaannya, sama halnya seperti Wulan. Wulan sadar, bertepuk sebelah tangan adalah patah hati terberat baginya, juga bagi Hadi.

"Maaf, Hadi." Wulan berucap. Ia merasa bersalah dan telah mempermainkan perasaan Hadi.

"Untuk apa? Untuk sebuah penolakan?" Hadi tertawa. Hatinya tiba-tiba remuk.

"Bukan," sergah Wulan, "bukan begitu maksudku ... aku merasa bersalah telah membuatmu berteman dengan kekecewaan."

"Aku berteman denganmu, bukan dengan kekecewaan."

"Tapi, berteman denganku sama halnya merasakan kecewa yang berlebihan 'kan? Seharusnya, dulu kamu menegur dan memberiku pencerahan bahwa cinta tak seburuk yang kukira."

"Andai dulu bisa kulakukan." Hadi tertawa ringan.

Rupanya, kata-katanya itu mampu menusuk hati Wulan kembali. Dalam kondisi ini Wulan pasrah dianggap sebagai antagonis. Betapa ia baru menyadari bahwa apa yang ia katakan sebelumnya adalah sebuah kesalahan. Bukankah selama ini Wulan menolak pembahasan perkara hati?

"Jadilah Wulan yang baru untukku," pinta Hadi. Ia tatap lagi wajah Wulan seraya menggenggam erat kedua tangan gadis itu.

"Untukmu, aku akan memenuhinya!" Meski berbaur deru angin malam, suara Wulan terdengar jelas di telinga Hadi.

🌙🌙🌙

Hubungan asmara Hadi dan Wulan berjalan baik. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling melengkapi. Hubungan asmara mereka bahkan tidak meretakkan apa pun. Ema tetap menjadi bagian dari mereka. Ema bahkan menjelma sebagai penasihat baik dalam hubungan Hadi dan Wulan. Meski harus melahap lara setiap harinya, tapi waktu berkenan menyembuhkan semua itu. Walau belum sembuh total, ia tetap berusaha menyederhanakan rasa nyamannya kepada Hadi. Baginya, Hadi berhak bahagia karena cinta yang baik adalah milik sepasang kekasih yang tepat. Dan, Ema membenarkan ucapan maminya kala itu.

Perlahan Ema menerima segala kenyataan yang terjadi. Kehilangan adalah teman baik baginya, tapi itu tidak mengalahkan Hadi dan Wulan tetaplah teman terbaik. Ema menyibukkan diri agar tidak terlampau memaknai dukanya kehidupan. Ia menyiapkan banyak target untuk masa depannya mengingat sekarang ia telah duduk di kelas 12. Ema juga lebih banyak menghabiskan waktu di butik maminya, mempersiapkan diri untuk ujian dan mempersiapkan dana mandiri untuk kuliah.

"Mi, rasa sakit hati itu nyata, ya?" Ema iseng menanyakannya kepada Mira.

"Tidak, itu hanya ilusi. Biarkan saja, nanti waktu yang urus semua rasa sakit hati itu." Maminya menjawab kaku.

"Benar, Mi. Pada dasarnya semua tentang waktu. Hanya waktu yang dapat mengikis rasa sakit hati itu perlahan, tapi pasti." Ema berucap dengan tangan yang masih sibuk membersihkan etalase butik.

"Jangan terlampau percaya kepada pria!" tegar Mira kemudian.

Ema mengernyitkan kening. Sebenarnya, ia paham bahwa obrolan ini mengingatkan rasa sakit hati mami kepada papinya. Namun, bukan itu yang Ema inginkan dari obrolan ini. "Kenapa, Mi? Kenapa tidak boleh percaya kepada pria?" Ema bertanya jua.

"Karena sakit hati datangnya dari percaya yang berlebihan. Ketika ekspektasi kita tak sesuai dengan kenyataanya, kita merasa marah untuk itu. Kecewa ... padahal kita mati dibunuh ekspektasi sendiri, ditikam harapan yang dibangun oleh kepercayaan yang kita yakini. bukankah lucu kalau kecewa itu datangnya dari diri kita sendiri?"

"Benar juga, Mi!"

"Benar juga, Mi!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang