Seseorang menggebrak meja Ema dengan keras. Ema tersentak. Ia hentikan sejenak aktivitas membacanya. Ia mendongak, melihat wajah gadis di hadapannya yang merah padam. Tampak sekali ia sangat marah kepada Ema.
"Siswi baru nggak usah belagak, deh!" bentak gadis itu yang tak lain adalah Susi. Rena berdiri di dekat Susi sembari melipat tangan.
Ema masih diam. Ia tidak ingin memperpanjang masalah pasalnya dalam permasalahan ini Susi-lah yang salah. Ia memilih beranjak dari tempat duduknya, tapi Susi sigap menghadangnya. Ema mengembuskan napas kasar. Oke, aku ladeni kamu! Ema menatap pedas ke arah Susi dan Rena.
"Jadi mau kalian apa?" Satu pertanyaan terlontar dari mulut Ema.
"Aku maunya kamu nggak usah belagak jadi pahlawan!" Susi mendorong bahu Ema hingga tubuh gadis itu mengantuk kursi di belakangnya.
"Kayaknya di sini kamu, deh yang belagak!" Ema tidak kalah diam, dengan berani ia mendorong bahu Susi.
"Beraninya kamu!" Rena hendak mendaratkan tamparan di pipi Ema, tapi Ema cekatan menghempaskan tangan Rena.
Keributan itu menarik perhatian beberapa siswa yang masih tinggal di kelas. Mereka mulai mengerumuni sumber keributan. Mereka sudah mencoba melerai dengan nasihat-nasihat, nyatanya pun tidak mempan.
"Manusia yang suka menindas macam kalian itu nggak cocok untuk ditakuti!" Ema menatap ke arah kerumunan-menatap teman-temannya satu per satu-seolah-olah kata-kata itu sengaja ia serukan agar terdengar oleh semua orang. "Mereka yang sok kuasa dan sempurna sebenarnya lebih buruk dari orang yang mereka perbudak. Dan, jangan lupa metamorfosis itu berlaku untuk semua makhluk hidup!"
Tak menghiraukan tanggapan apa pun, Ema menerobos keluar dari kerumunan meninggalkan kelas yang hening karena ucapannya barusan.
🌙🌙🌙
"Sejak kapan kamu dirundung sama Susi?" tanya Ema kepada Wulan.
Setelah keributan di kelas, Ema memilih menemui Wulan di taman sekolah. Mereka tampak lebih akrab sekarang. Terlebih Ema merasa kasihan kepada Wulan yang diperlakukan tidak baik oleh Susi. Melihat Wulan sama halnya melihat dirinya yang dulu. Lemah tak berdaya di ranah orang. Tunduk di bawah manusia sok kuasa.
Wulan menjawab singkat, "Belum lama."
"Nggak capai?"
Wulan yang mengerti maksud dari pertanyaan Ema langsung menatap gadis itu dengan tatapan sendu yang disembunyi-sembunyikan. "Capai, tapi-"
Ema menyela, "Aku yakin kamu bisa lalui ini semua, tapi kamu nggak bisa diam terus."
Wulan tertawa ringan. "Apa yang bisa dibanggakan dariku? Aku nggak cantik, relasi pertemananku sempit, aku juga-"
"Ssstt!" Ema menyerahkan selembar kertas kepada Wulan. Kertas itu ia ambil secara diam-diam dari mading sekolah.
Wulan bungkam beberapa saat. Wulan membaca dengan serius kalimat demi kalimat yang tertulis di dalam kertas itu. "Maksudnya?" Wulan bertanya tak mengerti.
"Kamu harus ikut kompetisi itu!" seru Ema yakin.
"Ha?!" Wulan berseru kaget. Bingung. "Mana mungkin!"
Ema membenarkan posisi duduknya. Kini ia tepat menghadap ke arah Wulan. Ema menatap kawan barunya dengan binar mata yang menujukkan keyakinan. Ema mengangguk.
"Tapi, nggak mungkin aku ikut kompetisi ini. Apalagi ... Susi sudah dua semester berturut-turut jadi miss of fashion show selama dua semester berturut-turut." Wulan menggigit bibir. Ragu.
"Kamu bisa, aku yakin itu. Aku akan bantu, janji." Ema mengacungkan jari kelingkingnya.
Bimbang Wulan untuk menjabat kelingking Ema, tapi karena tidak ingin mengecewakan kawan barunya itu, akhirnya ia balas jabatan kelingking itu.
"Kamu serius bakal bantuin aku?" tanya Wulan khawatir.
Ema menjawab dengan mantap, "Nggak cuma bantuin, aku juga akan berpartisipasi dalam kompetisi itu kalau dirasa perlu!"
🌙🌙🌙
Sepulang sekolah, Wulan langsung digiring ke rumah Ema. Tidak hanya mereka berdua, Hadi juga turut serta. Setibanya di rumah Ema, mereka disambut ramah oleh Mira-maminya Ema. Tidak ada agenda khusus hari ini, hanya kegiatan mengobrol santai yang sengaja Ema rencanakan untuk mengumumkan kesetujuan Wulan mengikuti kompetisi fashion show semester ini.
Ketiga bersahabat itu berkumpul di ruang makan rumah Ema. Selain karena dipersilakan Mira untuk makan terlebih dahulu, Ema memang tidak punya ruang khusus untuk berkumpul di rumah barunya.
"Wah, dalam rangka apa ini makan enak di rumah Ema?" tanya Hadi seraya menyendokan nasi ke piringnya.
"Untuk merayakan awal persahabatan kita bertiga, dong!" Ema menyenggol lengan Wulan yang tampak canggung.
"Eh, iya ... benar." Wulan membenarkan perkataan Ema.
Di seberang meja, Hadi sudah sibuk melahap makanannya. Ema yang peka dengan kecanggungan Wulan-karena baru pertama kali sedekat ini dengannya-menyendokan nasi ke piring Wulan.
"Eh, sudah-sudah!" cegah Wulan kala Ema hendak menyendokan nasi lagi ke piringnya.
"Makanya ambil sendiri." Ema tertawa kecil seraya menggelengkan kepala.
"Anggap rumah sendiri saja, Lan!" Hadi berbicara di sela-sela makannya.
Ucapan Hadi menjadi batas jeda pembukaan obrolan. Setelah selesai makan, obrolan mereka berlanjut lagi. Mereka membicarakan banyak hal sebelum Ema masuk ke inti obrolan. Setelah dirasa obrolan mulai lenggang karena kehabisan topik, Ema angkat bicara.
"Semester ini, aku dan Wulan akan ikut kompetisi fashion show!" seru Ema bersemangat.
Hadi tercengang. Ia lirik Wulan yang tertunduk malu mendengar ucapan Ema barusan. "Kalian serius?"
Ema mengangguk yakin diikuti dengan anggukan Wulan yang masih ragu.
"Bagus, aku dukung kalian!" Hadi mengacungkan kedua jempol tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cantik
Teen FictionKamu itu cantik! Nggak perlu muluk-muluk untuk jadi cantik karena cantik nggak cuma soal fisik. Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi Writing Project yang diselenggarakan oleh @RdiamondPublisher #WPRD2TimHipHop #WritingProjectDiamond #RDiamondP...