13 - Unexpected

958 79 8
                                    

"Tenant-mu bagaimana?"

Itu adalah pembuka obrolan kami. Aku dan Killian mampir ke rumah makan dekat Central Park untuk makan malam sebelum memutuskan pulang.

"Aku mendapat tenant yang posisinya cukup strategis. Masih kosong, kami berencana meminta bantuan Allen untuk menatanya."

"Allen ... Allen si tetangga?"

Dahi Killian berkerut, bukan sedang berusaha mengingat Allen, tetapi lebih ke ekspresi tidak suka, kurasa. Wajahnya persis seperti ketika dia merasa risi didekati oleh banyak perempuan yang mengucapkan selamat ketika dulu memenangkan olimpiade Matematika. Kuharap itu bukan berarti Killian tidak menyukainya, karena sejauh ini, Allen adalah pria yang baik.

"Memangnya ada berapa Allen yang kukenal?"

Mata Killian menyipit dan melebar lagi begitu tatapannya dilayangkan kepadaku, seperti seseorang yang baru saja teringat akan sesuatu.

"Apa kau lupa Allen si pria berkacamata yang sering menguntitmu?" Dia tertawa setelah melayangkan pertanyaan itu. "Aku baru sadar, hidupmu tidak jauh dari nama Allen. Mungkin Allen yang satu ini  jauh lebih baik untukmu."

Aku ingat pria yang dimaksudnya, saat kelas 7, dia selalu ada di mana pun aku berada. Minimal aku akan melihatnya tiga kali dalam sehari, kecuali saat libur tentunya. Sampai-sampai aku meminta bantuan Killian pura-pura menciumku agar dia mengira kami berkencan dan akhirnya berhenti mengikuti. Usaha itu berhasil, tetapi besoknya rumor tersebar kalau kami berkencan dan aku dimusuhi oleh perempuan seangkatan.

Luciana si culun tidak pantas mengencani senior populer seperti Killian. Begitu yang sering kali mereka kumandangkan untuk membuatku minder. Mereka tidak tahu saja, aku bahkan menjadi saksi ketika Killian masih mengompol saat tidur.

Jangan heran kalau aku tidak banyak memiliki teman perempuan, kehadiran Killian berperan sangat penting untuk itu, tetapi aku tidak bisa melepasnya. Dengan begitu, kami awet sampai sekarang. Lagi pula, kehadiran satu Killian tidak akan bisa diganti dengan seribu teman.

Namun, bukan tentang si pria kacamata yang membuatku merengut dan menggigit sendok dengan kuat seperti saat ini, tetapi fakta kalau Killian salah menyebutkan namanya dan aku tidak terima pria kurang ajar itu disamakan dengan Allen.

"Kau salah mengejanya, Killian. Dia Allan, with an 'a', not 'e'." Tentu saja aku memprotesnya.

"Aku kesulitan mengingat nama orang."

"Tepatnya nama laki-laki, kau bahkan mengingat semua nama perempuan yang mengagumimu."

Killian tertawa dengan rasa bangga dan membuatku mengernyit kebingungan.

"Mereka mengirim surat setiap hari dan menyertakan foto. Lokerku penuh dengan sampah mereka. Oh, dan laki-laki itu mengganggumu, aku tidak akan repot-repot mengingat namanya, walau otakku selalu otomatis merekam semuanya."

Habis tertawa, dia bicara sangat serius. Killian memang seunik itu.

"Aw, kedengarannya romantis," cibirku dan memaksakan senyum malu-malu untuk meledeknya.

Killian tidak bereaksi apa-apa selain merotasikan bola matanya. Kemudian dia menukar steik yang sudah dipotong-potongnya dengan milikku yang baru dipotong satu kali. Killian bahkan tidak protes kalau steik yang ditukarnya sudah tidak utuh lagi.

"Aku menjagamu, Luciana Patterson." Dia balas mencibir.

"Kau mengganti nama belakangku," protesku lagi.

"Oh, bukankah seharusnya begitu?" Killian tersenyum miring, tahu bahwa dirinya benar.

Aku tidak merespons lagi dan ikut tersenyum untuknya. Selanjutnya kami hanya menikmati makan malam dengan tenang. Dan aku tidak perlu repot-repot lagi berurusan dengan steik selain langsung menyuapnya.

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang