32 - The Morning After

1.1K 62 10
                                    

Bercerai setelah kita menemukan cinta masing-masing?

Begitu aku memikirkannya, itu terdengar seperti omong kosong. Bagaimana aku akan menemukan satu kalau Killian masih memperlakukanku seperti seorang adik kecil yang tidak boleh bertemu sembarang pria? Sebenarnya apa yang dia mau? Aku sudah berusaha untuk terbuka pada Allen, setidaknya dia mengerti kalau aku tidak mudah dekat dengan orang lain. Aku mungkin pulang larut tanpa kabar, tetapi aku masih utuh, tidak kekurangan apa-apa, bahkan dengan perut kenyang karena satu burger besar.

Killian seharusnya punya alasan yang lebih bagus dari sekadar rasa khawatir.

Tubuhku terlalu penat untuk bangun pagi ini. Posisi tidur yang tidak nyaman membuat beberapa titik persendianku terasa nyeri, terutama tangan kananku. Demi mempertahankan posisi agar luka di tanganku tidak tertindih, aku harus meluruskannya di atas kepala sepanjang malam. Aku sampai berpikir ingin istirahat di rumah hari ini seandainya lupa ada pesanan yang harus diantar.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rupanya aku terlalu lelah sampai bangun kesiangan. Alarm ponselku juga entah bagaimana tidak berbunyi. Sekarang aku mencari-cari keberadaan benda itu. Tunggu, aku tidak mengeluarkannya dari tas sejak tadi malam dan aku lupa kalau baterainya habis. Parahnya, aku tidak membawa kabel pengisi daya bersamaku. Aku punya dua, satu ada di kamar, satunya lagi sengaja kutinggal di tenant.

Aku mendesah frustrasi begitu tahu harus ke kamar untuk mengambilnya. Di jam-jam sekarang aku tidak begitu yakin apakah Killian masih di kamar atau tidak, sedangkan aku belum bisa bertemu dengannya karena kejadian semalam. Aku ingin memperlihatkan padanya kalau aku masih marah. Dengan begitu, dia akan berpikir dua kali jika ingin mengaturku lagi.

Sekarang jam setengah sembilan, terlalu banyak waktu yang kuhabiskan hanya untuk berpikir. Lagi pula, Killian mungkin sudah siap untuk berangkat bekerja dan tidak berada di kamar lagi. Dan jika kami bertemu, aku hanya perlu untuk berpura-pura tidak melihatnya--meski aku cukup sadar keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Yah, aku tahu ini agak kekanakan, tetapi aku hanya ingin menunjukkan kekesalanku, simply that.

Namun, aku baru membuka pintu dan membeku begitu menemukan dia sudah berada di hadapanku dengan membawa sebuah nampan. Tangan kanannya yang mengepal terangkat di udara, seperti ingin mengetuk pintu, tetapi sekarang dia turunkan lagi. Kalau seperti ini, bagaimana bisa kuabaikan? Aku tidak bisa keluar karena Killian bukan hantu yang bisa kutembus. Bahkan di detik pertama melihatnya, kami sudah menatap mata satu sama lain.

Aku menelan ludah dan membuang muka pada akhirnya. Wajah bersalahnya membuatku tidak sanggung untuk menjadi ketus. "Bisa ke pinggir? Aku mau keluar."

"Aku bawa sarapan untukmu."

Aku melirik isi nampan dengan benar kali ini. Ada segelas susu cokelat dan sepiring omelet dengan filet ikan yang sudah dipotong-potong. Dia masih peduli pada kondisi tanganku dan berhasil membuat kekesalanku mulai luntur.

"Terima kasih, biar kuba--"

Killian menaikkan nampan ketika ingin kuambil. Dia sudah berbuat baik, jadi tidak bisa kutolak. Meski itu berarti aku bersikap tidak konsisten. "Sarapan bersama?"

"Kau akan terlambat. Aku baru bangun, belum mandi dan melakukan yang lain-lainnya." Bagaimana caranya menolak dengan tegas tanpa harus terkesan seperti sedang mengulur waktu? Aku menggigit lidah karena tidak bisa bersikap ketus meski sedang merasa sangat kesal.

"Tidak masalah. Aku tidak ke kantor hari ini, hanya menemui klien yang sudah membuat janji dan akan pulang cepat." Sebelah tangan Killian bergerak mendekati wajahku dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi mataku. Dia melakukannya dengan cepat sebelum aku sempat menghindar. "Maaf soal yang semalam, sebagai gantinya, pulang nanti mau kujemput? Kita bisa pergi jalan-jalan."

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang