31 - Lost Control

2K 87 9
                                    

Pulang pukul dua belas malam tanpa kabar adalah cara terbaik untuk membuat Killian khawatir bukan main. Pikap Allen berhenti tepat di jalan depan rumah kami, bertepatan pula saat Killian keluar dari mobilnya dengan mengenakan setelan piyama berwarna hitam--yang berpasangan dengan milikku. Kekacauan memenuhi wajahnya yang diterangi oleh lampu teras yang temaram.

Aku segera menghampiri Killian begitu pikap Allen melaju ke rumahnya. Pria itu sempat memberi salam pada Killian sebagai bentuk ramah-tamah kepada tetangga. Dan Killian tidak tampak meresponsnya dengan baik. Dia hanya menggumam, seolah-olah menunjukkan bahwa dia tidak menginginkan interaksi lebih banyak. Killian memang akan membatasi berbagai macam jenis interaksi sosial ketika suasana hatinya sedang tidak baik, dan ini adalah salah satunya.

"Kenapa tidak bisa dihubungi?" Killian menggeser tubuhnya seperti sedang menghadang jalanku meski aku memang ingin berhenti di depannya.

"Ponselku mati." Aku yakin jawaban itu sudah cukup jelas, tetapi Killian justru mendesah frustrasi dan melampiaskannya dengan menyugar rambut agak kasar.

"Aku khawatir hal buruk terjadi padamu, Ana. Aku baru pulang dari Macy's. Rencananya ingin menjemputmu, tapi tenant-mu sudah tutup. Aku pulang lagi karena kupikir kau sudah pulang. Dan kau pulang dengan diantar seorang pria tepat tengah malam. Bisa-bisanya kau sepercaya itu padanya?"

Killian memukul kap depan mobilnya dengan kuat sampai terdengar bunyi debam yang keras. Hal itu sukses membuatku tersentak dan telingaku dipenuhi oleh suara debar jantungku sendiri. Beruntungnya di jam-jam ini orang-orang sudah tidur, tidak akan ada yang menonton kemarahan Killian. Dan mobilku yang tidak tampak kehadirannya menandakan bahwa Jaden belum pulang.

"Pria yang kaumaksud itu Allen, tetangga kita. Dan dia tidak berbahaya. Berhentilah berpikiran buruk pada pria yang dekat denganku, Killian." Aku berusaha tetap tenang meski Killian yang sedang khawatir akan sangat mengerikan.

Ketika dia masih berusaha meredakan emosinya dengan menarik dan mengembuskan napas, aku berjalan melewatinya dan masuk ke rumah. Aku tidak berencana untuk berada di luar lebih lama lagi mengingat udara terasa makin dingin.

Killian mengikutiku tentu saja. "Tetap saja aku tidak bisa berhenti khawatir karena kau tidak mengabariku. Pria yang baik tidak akan menahanmu sampai tengah malam." Terdengar suara pintu dikunci setelahnya.

Apa kubilang tentang Killian yang mengkhawatirkanku akan jauh lebih merepotkan? Ini buktinya. Aku bahkan belum melepas mantelku dan dia sudah mengajakku berdebat.

"Aku terlalu sibuk mengerjakan pesanan sampai lupa mengisi daya baterai. Aku pergi dari Macy's jam sepuluh. Kau juga tidak bertanya apa aku akan pulang, jadi aku tidak menghubungimu sampai ponselku mati. Allen kebetulan ada di area dekat Macy's dan menawarkan untuk pulang bersama. Kami mampir membeli makan malam dan mengobrol. Tidak lebih dari itu."

Killian menekan pelipisnya sambil berpejam. Dia memang tidak berubah, selalu khawatir jika aku dekat dengan pria yang belum dikenalnya dengan baik. Di mana-mana orang akan kehilangan kendali diri saat marah, tetapi Killian tidak bisa mengendalikan diri saat sedang khawatir berlebih. Sejak dulu selalu seperti itu. Sampai-sampai untuk mencoba menyukai orang lain saja aku sampai takut. Takut Killian akan tidak menyukainya.

Ya, itu alasan lain kenapa aku belum pernah jatuh cinta sampai saat ini.

"Jangan ulangi lagi. Kau membuatku jantungan karena khawatir." Dia beranjak pergi, ingin menaiki tangga, tetapi aku berhasil menahan tangannya.

Dia menatapku dengan dahi yang berkerut. Sejujurnya, aku senang dia masih khawatir, tetapi kalau memikirkan tentang rencana dan poin-poin yang perlu diperhatikan pada pernikahan kami, aku jadi ingin menangis. Mataku sudah panas sekarang.

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang