"Ana, bangun."
Aku menggeliat pelan karena tidur yang terusik. Cahaya yang terang membuatku tidak bisa benar-benar membuka mata, tetapi meski mengerjap beberapa kali untuk membiasakannya pun, rasanya aku masih ingin berpejam lagi. Kepalaku juga rasanya terlalu berat, enggan untuk bangun.
"Sebentar lagi, Killian, mataku masih terasa berat. Kau bisa berangkat sendiri, aku akan cari taksi nanti." Kemudian aku berbalik arah, dari berbaring menghadap sebelah kiri menjadi sebelah kanan. Tentunya dengan sangat hati-hati agar tangan kananku tidak tertindih. Killian sudah bangun dan aku bisa leluasa menempati space kosong di kasurku.
Killian menyentuh lenganku dengan tangannya yang dingin dan bisa kurasakan dia tersentak. "Kau demam, Ana."
Meski masih berpejam, telapak tanganku naik untuk menyentuh dahi. Aku ingin membuktikan ucapannya. "Tidak, tanganmu yang terlalu dingin. Kau sudah mandi dan aku belum."
Decakan keras dia keluarkan dan sepertinya dia pergi menjauh. Aku terpaksa membuka mata dan memperhatikan apa yang dia lakukan setelah kudengar suara keributan kecil di sudut ruangan. Killian sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan untuk bekerja. Entah sudah jam berapa sekarang, aku jadi merasa bersalah karena tidak membuat sarapan untuknya.
Killian kembali ke sebelahku dengan sebatang termometer digital di tangan. "Buka mulutmu," suruhnya. Aku tidak bisa menolak karena pembawaannya terlalu serius.
Ada alasan kenapa aku enggan mengakui kalau sedang sakit pada Killian, dia akan bersikap seperti ini dan rasanya aku ingin menenggelamkan diri begitu saja. Bahkan Jaden saja tidak sampai seperti ini, yang ada justru menertawakan kondisiku yang kacau-- benar-benar saudara yang tidak berguna.
Aku menjepit ujung termometer di bawah lidah. Killian tidak beranjak sedikit pun dari sisian kasur sampai akhirnya termometer ini mengeluarkan suara pelan. Dia menarik termometer itu dan menghela napas panjang ketika memperhatikan digit angka yang tertera di layar kecil di sana.
"105⁰ (fahrenheit). Kau menyentuh dahi dengan tangan yang sama panasnya, tentu saja tidak terasa perbedaannya." Killian mengatakan itu sembari membersihkan termometer dengan tisu basah antiseptik yang sudah dia siapkan di tangan.
"Baiklah, aku akan istirahat di rumah." Ada rasa senang dan gelisah saat mengatakannya. Senang karena aku bisa tidur lagi--memikirkannya saja sudah membuatku kembali menarik selimut untuk menyelimuti tubuh. Lalu gelisah karena aku tidak bisa ke Macy's. Lagi-lagi aku membebani Emma untuk mengawas di sana.
"Aku juga akan meminta izin tidak masuk hari ini."
"Kenapa?"
Aku baru memejamkan mata, tetapi kembali terbelalak karena ucapannya. Mataku langsung menangkap adegan Killian membuka kemejanya dari belakang, menyisakan kaos dalam yang membungkus tubuh bagian atasnya dengan erat. Aku nyaris protes seandainya tidak ingat kalau kami memang tidur sekamar sejak Jaden datang.
"Siapa yang akan menjagamu?" Ada nada tidak suka di suaranya. Killian membawa kemeja yang dilepasnya tadi ke ruang penyimpanan dan kembali lagi dengan sudah mengenakan celana training dan kaos berlengan pendek. "Jaden tidak pulang. Dia mengirim pesan padaku dua jam lalu karena ponselmu tidak bisa dihubungi."
"Ah, begitu." Aku mencebik dan memandang langit-langit sebentar. "Tapi kau sungguh tidak perlu sampai libur bekerja, Killian."
Detik berikutnya, dia sukses membuatku kaget. Di samping kasur, dia membungkuk, membiarkan wajahnya berada tepat di atas wajahku. Sulit mengontrol diriku untuk tidak memujinya tampan meski sudah sering melihatnya. Terlebih lagi ketika dia berwajah serius seperti sekarang. Kerutan di dahi pun tidak melunturkan daya tariknya.
![](https://img.wattpad.com/cover/279418696-288-k291089.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Feelings [✔]
Poetry#MarriageSeries Pernikahan menjadi dambaan setiap orang, Ana tahu itu. Namun, sebagai seorang wanita karier yang memiliki target pencapaian dalam hidupnya, Ana tidak bisa memenuhi keinginan orangtuanya untuk segera menikah. Sayangnya, takdir sedang...