50 - The Night We Spent Together

993 59 16
                                    

⚠️⚠️

"Aku pernah tinggal di sana beberapa bulan. Waktu itu aku menyusul pamanku yang bekerja di salah satu kebun anggur."

"Kau benar-benar berkeliling Benua Amerika."

"Untuk bertahan hidup. Kuharap aku bisa memberimu rekomendasi tempat-tempat bagus, sayangnya tidak banyak yang kulakukan selain bekerja."

"Tidak apa-apa. Killian sudah mengurus perjalanan kami, kalau mengecewakan, aku cukup menyalahkannya saja."

"Ha ... dia benar-benar pasrah kalau sudah berurusan denganmu, ya."

Aku menahan tawa sambil melirik pria yang sedang kami bicarakan. Killian duduk di seberang meja yang dipenuhi oleh sisa sarapan kami. Dia menolak sarapan di resto hotel, jadi kami memesan untuk dimakan di kamar. Wajahnya merengut, tidak tahu karena bosan menungguku atau karena kami sedang membicarakannya. Aku bahkan tidak berusaha memelankan suara saat menyebutkan namanya. Matanya terus tertuju padaku, tetapi lama-lama jadi makin mengintimidasi.

"Kuharap begitu." Aku memainkan bibir gelas yang isinya sudah kosong. Awalnya ingin kuabaikan Killian, tetapi dia sudah berdeham sembari menatap jam pintar di tangan kirinya. Itu merupakan isyarat kalau aku harus mengakhiri sambungan telepon. "Kami mau pergi ke suatu tempat sebentar lagi, kutelepon lagi nanti?"

"Ya, tentu. Semoga liburan kalian menyenangkan."

"Berarti kalau kau puas dengan liburan kali ini, aku akan mendapat reward, benar begitu?"

Aku menggaruk alis kanan yang memang sedang gatal, bukan dibuat-buat untuk mengulur waktu. Killian bukan seseorang yang suka menuntut balasan atas kebaikan yang dia lakukan, tetapi apa yang kubicarakan di telepon dengan Allen tadi pasti memantik sebuah ide muncul di kepalanya. Wajahnya sudah tidak sesuram tadi, tetapi dikuasai oleh seringai nakal. Itu mudah terbaca, dia pasti memikirkan sesuatu yang menggelikan.

"Kau, kan, menghasilkan lebih banyak uang daripada aku." Kesadaran diriku cukup tinggi soal itu. Atas dasar itu pula aku membereskan peralatan makan kotor, mengumpulkannya di satu titik sebelum memanggil orang hotel untuk mengambilnya nanti. Aku juga benci melihat itu berantakan lebih lama lagi. "Jangan memerasku."

Killian tertawa begitu renyah, suaranya sudah jarang kudengar sampai-sampai aku mendengarkannya dengan saksama. "Aku akan memberitahumu apa yang kumau," katanya dan berdiri dari kursi, tetapi aku buru-buru menarik lengannya sebelum dia menjauh.

"Tidak. Kau harus katakan sekarang. Aku harus pastikan itu cukup masuk akal untuk disebut sebagai ... reward." Bola mataku bergulir ke arah lain begitu menyebutkannya. Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain apa yang memenuhi pikiranku sekarang. Anggap saja sebagai persiapan agar aku tidak benar-benar terkejut begitu mendengar apa yang dia mau.

"Sejujurnya, aku belum memikirkan apa-apa, tapi ketakutanmu tergambar jelas seolah-olah aku akan menyerangmu." Dia menggeleng geli. "Aku bercanda, Ana. Yang kumau hanya agar kau benar-benar menikmati liburan ini bersamaku. Aku tidak melarangmu menghubungi Allen, tapi waktu kita terbatas di sini. Jadi ... fokuslah denganku."

Aku melepaskan tangannya begitu dia mendaratkan satu kecupan di dahiku. Sial, Killian, dari kemarin kau bersikap terlalu manis sampai aku yakin jantungku mungkin lelah karena terus dipacu. Kabar baiknya, besok kami akan pulang.

•••

Aku tidak tahu seberapa jauh persiapan Killian untuk liburan yang kukategorikan mendadak ini. Tepat saat kami tiba di lobi hotel, seseorang datang memberikan kunci padanya. Dia menyewa sebuah mobil untuk kami bepergian hari ini. Untuk mendatangi pengilangan anggur pun disertai tur istimewanya membutuhkan reservasi, mengingat ketersediaan paket tur yang terbatas. Di sisi lain, kami mungkin cukup beruntung mengunjungi tempat ini ketika sedang sepi. Siapa juga yang mau berkeliling kebun anggur tanpa memetik anggurnya?

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang