66 - The Invitation

769 59 11
                                    

Undangan yang Emma berikan padaku itu, aku sudah menerima emailnya seminggu lalu. Aku juga sudah membalasnya dan menyatakan bersedia menghadiri. Namun, setelah itu aku melupakannya dan menganggap itu hanya mimpi. Maksudku, namaku belum sebegitu dikenal sampai diundang untuk berpartisipasi dalam acara fashion show terkenal. Hari ini, Emma menunjukkan undangan fisiknya padaku, dan aku tidak bisa menahan jantungku berdebar secara normal. Penyelenggara mengirimkan undangan fisik sekaligus kartu yang akan mengarahkan aku harus ke mana saat di venue, tidak ketinggalan buket bunga yang sudah berpindah ke vas di konter kasir.

Pertengahan musim semi dan musim panas nanti akan diadakan Paris Fashion Week paruh pertama. Kudengar kali ini acara itu juga disponsori oleh Soppaholik. Aku tidak tahu apakah memenangkan fashion show tahun lalu bisa berarti sesuatu; bahwa kami akan lebih dikenal, tetapi lebih masuk akal lagi jika Soppaholik yang mengajukan nama kami. Makin aku memandangi undangan tersebut, makin menciut saja rasanya aku. Aku hari ini dengan aku di hari di mana aku membalas email undangan tersebut, jelas sangat berbeda. Kemarin aku meyakini bahwa acara ini akan menjadi ajang memperluas namaku, tetapi hari ini aku justru kehilangan percaya diri. Brand fashion terkenal akan turut memeriahkan acara tersebut.

"Kau yakin soal ini?"

Emma tidak begitu peduli dengan reaksiku. Dia sibuk membalik halaman buku sketsaku yang hampir penuh akibat dari betapa produktifnya tanganku saat aku istirahat di rumah. Kukira dia sepenuhnya mengabaikanku, tetapi kemudian dia bergumam singkat. "Yang mana? Mengajak Allen ke Paris?"

"Kau sudah gila. Lupakan yang itu, kita bicara tentang undangan ini, apa yang harus kita tampilkan? Kita tidak punya baju yang sesuai."

"Hm hm."

Hanya gumaman lagi yang kudengar. Akhirnya aku berhenti memandang kertas tebal ini hanya untuk melihat sesibuk apa Emma. Wajahnya terlalu serius untuk melihat gambar, mengalahkan wajah-wajah kritikus fashion.

"Kita bisa pakai desain-desain barumu, kurasa. Temanya musim semi dan musim panas, 'kan?" Akhirnya Emma menurunkan buku itu dan meletakkannya ke atas meja. "Kita perlu setidaknya sepuluh baju siap pakai untuk dibawa ke sana."

Itu makin membuat perutku bergejolak, perasaanku campur aduk. Membayangkan akan pergi ke Paris lagi setelah sekian lama membuatku merasa bersemangat, tetapi juga gugup luar biasa begitu memikirkan betapa banyak yang harus dipersiapkan. Lagi pula, itu cukup setimpal. Paris Fashion Week bukan acara biasa, di momen itulah para desainer menunjukkan karya terbaik mereka dengan disaksikan oleh perwakilan dari seluruh dunia. Kalau bernasib baik, acara ini akan berdampak luar biasa pada kami.

Bola mataku bergulir sebentar pada salah satu gambarku pada halaman buku sketsa yang terbuka. Emma benar, aku bisa memakai desainku untuk acara yang dilaksanakan dua bulan lagi.

"Kita bisa memanfaatkan sifon untuk membuatnya cocok dipakai saat musim panas." Begitu aku mengatakannya, aku juga membayangkan gambaranku setelah menjadi baju di kepalaku. "Kita perlu belanja banyak, Em."

"Aku akan menelepon Allen kalau begitu."

Aku segera menarik tangan Emma ketika dia tiba-tiba berdiri. Ponselnya tidak ada di sini, kalau memang dia akan menelepon pria itu, sudah pasti dia akan keluar dan mengambil ponselnya.

"Jangan berbuat aneh, Em." Aku memperingatkan, meski itu tidak akan berpengaruh apa-apa padanya. Rasa panik menggerogoti kerongkonganku.

"Meminta bantuannya? Kau tidak mempekerjakan pria, tidak mungkin kau mau kami yang mengangkut berol-rol kain, 'kan?" Emma terkadang bersikap seakan-akan Allen adalah jalan keluar dari masalah barang-barang di tenant kami.

"Kita bisa membayar jasa angkut." Bola mataku berotasi. Ketika tanganku menyentuh buku sketsa dan menutupnya, aku juga berpikir kalau berbagi pikiran dengan Emma adalah sebuah kesalahan. Meski hanya sebagian kecil, tetapi aku tidak yakin bisa fokus dengan proyek ini jika Allen berada di sekitarku. Aku tidak akan berhenti menghitung seberapa besar utang jasaku padanya, alih-alih menghitung berapa panjang kain yang harus kupotong.

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang