Emma tidak berhenti memelototiku sejak tadi. Andai mata tidak akan terasa perih jika terus-menerus terkena udara, mungkin dia tidak akan berkedip. Emma sukses membuatku menjadi seseorang yang sedang melakukan kesalahan besar. Jika sudah ketahuan seperti ini, mau tidak mau harus kuceritakan, bukan?
"Kau mungkin penasaran bagaimana aku mengetahuinya. Tapi jangan salahkan aku karena kau sendiri yang memintaku mencari buku agenda di laci." Karena aku juga tidak berhenti membalas tatapannya, Emma jadi bersikap defensif.
Kepalaku tiba-tiba berdenyut lagi dan sekarang aku memijatnya, tanpa sengaja menjatuhkan handuk kompres yang diletakkan Killian di dahiku tadi sebelum berangkat. Aku tidak ingin menyembunyikannya lama-lama, tetapi tidak siap juga ketahuan orang lain secepat ini. Setidaknya aku masih bisa bersyukur kalau orang itu adalah Emma. Tidak bisa kubayangkan kalau orang lain.
"Aku lupa kalau menyimpannya di sana," keluhku sekaligus agar Emma berhenti merasa bersalah.
"Sebenarnya aku kurang percaya saat kau memperkenalkan Killian sebagai sahabat. Tidak sedikit memang, dua orang sahabat yang memutuskan tinggal bersama, tetapi biasanya di apartemen. Sedangkan kalian membeli rumah di sini. Seolah-olah memang ingin menetap di sini selamanya. Oh, dan ruam merah itu--" Emma langsung menutup mulutnya seperti baru saja mengatakan sesuatu yang terlarang. "Kau bilang itu gatal-gatal, tapi pasti bekas Killian, 'kan?"
Aku sudah demam, dan sepertinya suhu tubuhku makin panas ketika Emma mengingatkan tentang ruam-ruam di sekitar leherku waktu itu. Sekarang adegan ketika Killian melakukannya mulai membayang lagi di kepalaku.
"Bisa-bisanya kau masih mengingat itu." Aku bersikap sok sibuk dengan membalik halaman buku agendaku. Ini sulit, angan kiriku benar-benar tidak terbiasa melakukannya.
"Kalian menyembunyikannya, ya? Kenapa?" Dia terdengar menyayangkan hal itu terjadi. "Padahal, kalian sudah punya chemistry yang kuat. Bahkan Killian menitip pesan lagi padaku agar merawatmu dengan benar. Dia benar-benar menyayangimu, kurasa."
Aku menyugar rambut tanpa mengalihkan pandangan dari wajah serius Emma. "Memang sudah seharusnya begitu, 'kan? Kami dekat sejak sangat kecil, selalu melakukan banyak hal bersama, akan aneh kalau dia tidak menyayangiku."
Aku mulai memikirkan apa yang harus kulakukan dalam situasi ini. Perlukah Killian tahu tentang ini? Dia mungkin akan menyalahkanku karena menyimpan foto itu sembarangan, atau karena membiarkan orang asing masuk ke ruangan itu tanpa pengawasanku. Terlebih lagi, Killian bukan orang yang akan merasa terganggu ketika privasinya terusik–dan itu juga termasuk privasiku.
Alih-alih mengkhawatirkan Emma yang bisa saja menceritakan soal ini kepada orang lain, aku justru memikirkan reaksi Killian kalau mengetahuinya. Bagiku, lebih sulit menyembunyikan sesuatu dari Killian daripada ratusan orang.
"Sekarang kau melamun, padahal pertanyaanku belum dijawab." Emma meraih handuk kompres yang tadi terjatuh dan membuat kesadaranku kembali ketika dia menempelkannya di dahiku.
"Aku akan bertanya pada Killian kalau kau tidak bercerita."
"Jangan!" Seluruh tubuhku langsung memberi sinyal bahwa itu bahaya. Aku sampai terduduk dan meraih tangan Emma, seolah-olah wanita itu akan pergi menemui Killian saat ini juga. Padahal Emma sama sekali tidak berencana akan beranjak dari posisinya. "Killian tidak boleh tahu kalau kau menemukan foto itu. Kami sudah membuat perjanjian."
"Perjanjian apa? Untuk menyembunyikan status kalian?" Emma tampak kehabisan akal untuk bisa menerima situasi kami. Aku tidak mengerti kenapa hal-hal seperti ini bisa membuatnya sangat kesal.
"Kami terjebak, Em. Pernikahan ini bukan sesuatu yang kami inginkan." Suaraku mulai serak karena belum minum sejak tadi.
Emma membenahi posisi duduknya menjadi menghadap TV. Dia bukan mau menonton TV, tetapi sorotnya yang kosong memperlihatkan sisi lain dari dirinya yang selalu penuh semangat. Emma yang seperti ini, baru sekali kulihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Feelings [✔]
Poetry#MarriageSeries Pernikahan menjadi dambaan setiap orang, Ana tahu itu. Namun, sebagai seorang wanita karier yang memiliki target pencapaian dalam hidupnya, Ana tidak bisa memenuhi keinginan orangtuanya untuk segera menikah. Sayangnya, takdir sedang...