11 - The Wish and the Box

1.1K 83 20
                                    

"Masuk saja."

Aku baru selesai mandi ketika pintu kamarku diketuk. Killian muncul dari balik pintu tepat setelah kupersilakan. Dia sudah rapi dengan setelan kerja, berbanding terbalik denganku yang hanya memakai jubah mandi dan baru mulai memilih pakaian.

Lagi pula, aku masih bisa memakai waktu sebanyak-banyaknya untuk mempersiapkan diri. Kunjungan ke Macy's hari ini tidak memiliki batasan untuk kata terlambat.

"Kau mau pergi?"

"Hanya memeriksa tenant di Macy's." Aku membalas tanpa melihatnya. Bukan karena masih kesal dengan yang kemarin, tetapi aku sudah berada di dalam closet room. Pakaian dan segala perlengkapanku yang lain terlalu banyak, sampai-sampai lemari saja tidak cukup untuk menyimpan semuanya.

"Kenapa bertanya?" Aku melanjutkan.

Aku keluar dari closet room dengan membawa dua potong pakaian; kemeja berlengan balon cokelat muda dan rok A-line cokelat tua. Aku tidak perlu mengatakan apa-apa saat meletakkan dua potong kain itu di depan tubuhku, Killian sudah mengerti apa maksudnya. Dia akan mengacungkan jempol setelahnya, pertanda bahwa pilihanku sudah cukup bagus.

Terkadang dia akan kujadikan penasihat fashion di saat-saat tertentu. Mungkin aku seorang desainer, tetapi ada kalanya aku tidak cukup percaya diri dengan apa yang membalut tubuhku. Itu salah satu keuntungan memiliki seseorang seperti Killian di sisiku, kurasa.

"Aku pulang cepat hari ini, mau kujemput? Kita berangkat sama-sama."

"Tidak ada janji dengan Gabby?" Aku bersandar pada bingkai pintu closet room setelah menyampirkan pakaian yang kubawa tadi ke bahu, merasa tertarik untuk mendengarkan alasannya.

Killian menghela napas berat, hingga membuatku mengira dia sedang ada masalah dengan wanita kaya itu. Kalau benar, itu akan menjadi rekor baru. Maksudku, Killian tipe yang setia, tidak ada yang bertahan dengannya kurang dari setahun.

"Aku perlu rehat sejenak, bisa-bisa aku akan bosan kalau terus menghabiskan waktu dengannya." Killian berpindah ke sofa dekat jendela kamarku. Jawabannya membuatku sadar kalau Killian just being Killian. Alasannya mungkin aneh, tetapi begitulah dia.

"Seharusnya kata bosan tidak akan muncul kalau kau memang menyukainya. Oke, aku membaca itu di buku, bukan sok tahu." Aku buru-buru menyatakan sumber sebelum Killian mendebatku, sebab aku tidak punya teori lebih banyak untuk menegaskan ucapanku tadi, dan Killian selalu menemukan titik kelemahanku.

"Aku masih meyakinkan perasaanku, Ana. Itu belum terjadi."

Belum, berarti akan, ya? Artinya aku juga harus mulai mencari seseorang untuk menggantikan Killian di sisiku. Memikirkannya saja malas. Aku masih ingin fokus meniti karier agar namaku dikenal oleh seluruh dunia. Seperti Saint Laurent, Christian Louboutin, Chanel, atau Balenciaga, dan banyak lagi brand lainnya yang takkan habis kusebutkan satu-satu.

"Oh, bagaimana dengan kita? 20 tahun bersama-sama, tidakkah kau bosan melihatku terus?"

Killian tersenyum. "Apa yang ada di antara kita berbeda, Ana. Aku mencintaimu, kau tahu itu. Lagi pula, aku sudah melihat bagaimana kau tumbuh. Takada alasan untuk menghindarimu."

Cinta sebagai teman. Sejak belasan tahun yang lalu dan takkan pernah berubah. Hubungan kami benar-benar awet, seperti kami adalah sepasang sandal yang tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak bersama. Kami ditakdirkan untuk mendampingi satu sama lain, itulah yang dikatakan ibunya Killian sebelum merencanakan pernikahan kami.

"Aku jadi ingat ibumu. Dia terlalu senang saat kau mengatakan itu, tanpa peduli kalau ternyata dia salah memahami maksudnya."

Kami berdua sama-sama tertawa. Sekali lagi pikiran kami terkoneksi untuk membayangkan momen-momen konyol yang terjadi sebelum akhirnya kami menikah. Bahkan sebelum mengiakan, kami sempat tidak pulang dua hari. Kami pergi ke suatu tempat di mana siapa pun tidak bisa menghubungi kami. Itu saat-saat yang tidak cukup baik sampai akhirnya Killian mendapat alasan bagus untuk merealisasikan pernikahan ini.

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang