72 - Broken

877 60 27
                                    

Jawaban yang kuberikan pada Allen kuharap tidak akan menjadi sesuatu yang kusesali di kemudian hari. Permintaannya tidak lagi membuatku terkejut meski terlalu cepat, tetapi sepertinya aku mengerti akan dorongan itu. Dia juga terlalu baik untuk disakiti. Dia selalu tersenyum dengan tulus, meski di beberapa waktu membuatku merasa tidak nyaman. Berbeda sekali denganku yang melakukannya dengan penuh kehati-hatian. Namun, aku perlu meyakinkan diriku bahwa ini adalah keputusan yang tepat dan sudah dipikirkan dengan sangat hati-hati.

Emma, Ari, dan Sonja tidak kunjung tiba menyusul kami, jadi Allen mengajakku berjalan lebih jauh. Tangan kami saling bertaut. Telapak tangannya menghantarkan hangat yang mampu menangkal sejuknya udara yang melintasi Sungai Seine. Ini merupakan sesuatu yang baru, terasa mendebarkan sekaligus menyenangkan. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa untuk menolak ketika dia menyelipkan jari-jarinya di antara milikku. Ini adalah kali pertama aku berjalan-jalan sambil menggandeng tangan pria selain milik Killian. Aku tidak ingin membandingkan mereka, tetapi aku belum bisa berhenti melakukannya. Terlebih lagi Killian sudah melakukannya pertama kali untuk semua hal padaku.

Allen dan Killian berbeda. Aku menghela napas setelah mengucapkan itu beberapa kali dalam hati.

"Apa kau lelah?"

Aku menggeleng. Sudah dua kali dia bertanya seperti itu. Dia jadi salah mengira karena aku seperti sedang melepas penat. Sebentar lagi kami tiba di seberang sungai, keluar dari area Carrousel du Louvre. Tidak mungkin berhenti dan kembali. Setidaknya aku sudah mengirimi pesan pada Emma bahwa kami pergi agak jauh.

Aku menemukan Allen menatapku begitu intens ketika tidak sengaja menolak. Niat awalku hanya ingin melihat ke sekitar, ketika sebuah kapal ingin melintas di bawah jembatan, tetapi justru merasa tidak nyaman dengan caranya menatap. Perasaan seperti ini masih terlalu sulit untuk kusingkirkan.

Allen tiba-tiba berhenti melangkah dan membuat kami berdiri saling berhadapan. Aku tidak bisa menyembunyikan kebingunganku ketika dia memegangi kedua lenganku. Allen lalu tersenyum tanpa kumengerti alasannya.

"Ada apa?" Dan aku tidak bisa menahannya lagi. Situasi ini membuatku waswas, perasaan itu membuat sistem gerak tubuhku berontak ingin melepaskan diri dan mengambil jarak sejauh mungkin, tetapi itu akan membuatnya salah paham.

"Aku ... hanya merasa senang, kita bisa seperti ini tanpa aku merasa cemas." Senyumnya tidak bisa berbohong, sekarang itu menampilkan sederet giginya.

"Astaga. Kukira ada apa."

Sebelah tangan Allen menangkup wajahku yang tidak kusadari terasa dingin sejak tadi. Tangannya yang hangat terasa lebih panas di sana. Rupanya bukan hanya aku yang merasa demikian, Allen pun terkejut. "Kau sungguh tidak kedinginan? Haruskah kita kembali ke penginapan?"

"Kata siapa kau boleh melakukan itu?"

Tangan Allen langsung terjatuh di kedua sisi tubuhnya. Tidak. Bukan aku yang mengatakannya. Aku tidak akan setega itu padanya. Ada suara lain yang hadir di sekitar kami dan membuat jantungku berdebar sangat kencang. Kami serempak menoleh ke sumber suara.

Killian berdiri beberapa meter dari kami dan sekarang sedang berjalan mendekat. Tidak ada koper, melainkan tas jinjing agak besar yang kira-kira cukup untuk menyimpan barang-barangnya selama beberapa hari di sini. Dia berencana menginap tentunya. Makin dekat dirinya, aku tahu napasnya terengah-engah. Aku ingat dia akan menyusul, tetapi tidak kusangka itu sungguhan dan terjadi secepat ini.

Dia tampak marah. Sejak tadi tatapannya hanya tertuju pada Allen, seakan-akan aku tidak terlihat. Gurat-gurat lelah di wajahnya tidak bisa menutupi betapa sibuk dirinya beberapa hari ini. Kalau memang seperti itu, kenapa harus menyusul ke sini? Namun, bukan itu yang penting saat ini, melainkan kemarahannya pada Allen yang tidak berdasar sama sekali.

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang