8 - Fashion Show

968 86 25
                                    

Aku terbangun karena alarm ponselku berdering. Kupaksa mata ini agar terbuka meski berat. Namun, aku harus tetap bangun agar tidak terlambat. Kulihat sela-sela tirai jendela, hari masih lumayan gelap. Memangnya apa yang kuharapkan di jam enam pagi, matahari yang sudah bersinar dan dengan senang hati membantu para tanaman berfotosintesis?

Tadinya posisi tubuhku miring ke sebelah kanan, dan setelah mematikan dering ponsel, aku mengubah posisi tubuhku menjadi telentang. Tanpa disengaja, lenganku menyentuh lengan Killian. Beruntungnya, dia tidak terusik sama sekali dan terus memperdengarkan dengkuran yang halus.

Semalam aku kesulitan tidur, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk meminta Killian menemaniku. Pria ini datang sendiri membawa laptopnya dan bertanya apa aku mencemaskan esok hari. Dia tahu aku akan memikirkannya, jadi dia berinisiatif menemani agar aku bisa tenang dan tertidur. Walau tak benar-benar berhasil karena dia sibuk bekerja dengan laptopnya.

Oh, sebenarnya aku lebih menganggap dia hanya sedang merasa bersalah karena perdebatan kami tadi malam.

Sudah sangat lama sejak kali terakhir kami tidur bersebelahan seperti ini. Waktu itu saat akan ujian masuk universitas. Sejak saat itu kami cukup sadar untuk tidak melakukannya lagi, selain karena pertambahan usia, peningkatan hormon juga bisa memicu terjadinya hal-hal yang mungkin akan kami sesali di kemudian hari.

Kupandangi wajah Killian yang terlelap lamat-lamat. Kebiasaannya saat tidur adalah mulut yang terbuka. Aku menggunakan telunjuk untuk mengatupkan kedua belah bibirnya, lalu kembali memandang wajah yang tidak pernah membuatku bosan itu.

Sekarang aku memikirkannya, apa jadinya kalau aku tidak mengenal Killian dulu? Apa yang akan aku lakukan sekarang kalau dulu tidak pernah dipeluknya di saat-saat sulit; bagaimana nasibku sekarang kalau dia tidak membantu mengajariku mengerjakan soal tersulit setiap ada tugas; apa yang kulakukan sekarang kalau saat itu dia tidak meyakinkanku bahwa peluang menjadi desainer di New York jauh lebih besar.

Aku sadar, pertanyaan-pertanyaan itu sudah mengartikan kalau aku telanjur bergantung pada Killian. Bahkan untuk hal sesepele makan saja masih ada campur tangannya. Mungkin aku sudah terbiasa dengan keberadaannya. Apa jadinya kalau dia pergi dari hidupku?

Menikah dan berakhir hidup berdampingan dengannya terdengar mengerikan, tetapi ide bercerai yang diutarakannya semalam pun tidak lebih baik. Meski sedikit, aku juga mulai mengkhawatirkan itu. Bagaimana seandainya dia sudah benar-benar jatuh cinta pada Gabby dan aku belum menemukan satu pun? Bukankah sama saja aku menghalanginya untuk bahagia?

"Mau sampai kapan memandang wajahku?"

Killian belum membuka matanya, tetapi dia sudah tahu aku melihatnya. Aku sama sekali tidak merasa malu sudah ketahuan memandangnya, karena dia adalah Killian, beda cerita kalau orang lain.

"Aku sudah bangun saat kau menyentuh daguku," ujarnya lagi, seperti orang mengigau, tetapi aku tahu dia sudah bangun.

"Mulutmu selalu terbuka dan aku tidak mau liurmu mengalir ke bantalku."

"Aku tidak tidur seperti itu," sahutnya membela diri.

"Aku hanya berjaga-jaga. Oke?" sahutku sembari menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku.

"Kau mau ke mana?" Killian meraih pergelangan tangan kiriku ketika aku baru menurunkan kaki dari kasur.

"Aku harus berangkat pagi, Killian. Kami dapat giliran gladi yang pertama dan tampil di urutan terakhir. Menyebalkan sekali aku harus menunggu selama itu."

"Sayangnya aku harus bekerja hari ini, tidak bisa menemanimu." Killian mengungkapkan rasa maafnya dengan mengusap punggung tanganku dengan jempolnya. Aku mengulum senyum karenanya.

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang